Aris Ceme Nuwa
Headlines News :

Latest Post

KRISIS FINANSIAL AMERIKA SERIKAT

Written By ariscemenuwa on Jumat, 18 Mei 2012 | 07.07

           Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat merupakan masalah fundamental dan menuntut concern masyarakat dunia karena efeknya yang bersifat global. Masalah ini berkembang menjadi masalah pelik dan mempengaruhi stabilitas ekonomi global. Dalam konteks dewasa ini, ketika hubungan perdagangan antarnegara nirjarak dan masifnya aliran barang dan jasa, gejolak perekonomian suatu negara bisa dengan mudah mempengaruhi perekonomian negara lain. Terganggunya aliran barang dan jasa bisa membawa dampak pada lesunya perekonomian. Hal ini cukup beralasan karena hampir semua negara menganut sistem perdagangan bebas (free trade system). Koneksi perdagangan antarnegara terjalin dengan adanya perdagangan bebas sehingga aliran dana bisa bebas keluar masuk dari satu negara ke negara lain. Sementara itu, setiap negara mempunyai kebijakan moneter yang tidak sama maka resiko terkena dampak krisis sangat besar.
            Kondisi perekonomian yang lesu, bahkan bergerak negatif akibat krisis disebabkan oleh fondasi ekonomi negara yang lemah. Kebijakan ekonomi atau finansial yang salah kaprah merupakan salah satu indikator terjadinya krisis. Krisis yang terjadi di Amerika Serikat yang berawal dari kredit perumahan adalah salah satu contoh kebijakan ekonomi atau finansial yang salah kaprah.

            Akar krisis finansial Amerika Serikat
            Sejak tahun 1925, di Amerika Serikat sudah ada Undang-undang Mortgage. Peraturan ini berkaitan dengan sektor properti, termasuk kredit pemilikan rumah. Semua warga AS-asalkan memenuhi syarat tertentu-bisa mendapatkan kemudahan kredit kepemilikan properti, seperti KPR. Kemudahan pemberian kredit terjadi ketika harga properti di AS sedang naik. Kegairahan pasar properti membuat spekulasi di sektor ini meningkat. Para penyedia kredit properti memberikan suku bunga tetap selama tiga tahun. Hal itu membuat banyak orang membeli rumah dan berharap bisa menjual dalam tiga tahun sebelum suku bunga disesuaikan. Permasalahannya, banyak lembaga keuangan pemberi kredit properti di Amerika Serikat menyalurkan kredit kepada penduduk yang sebenarnya tidak layak mendapatkan pembiayaan. Mereka adalah orang dengan latar belakang non-income non-job non-activity (NINJA) yang tidak mempunyai kekuatan ekonomi untuk menyelesaikan tanggungan kredit yang mereka pinjam (Depkeu, Depkominfo, Bappenas: Memahami Krisis Keuangan Global: 2008).
            Situasi tersebut memicu terjadinya kredit macet di sektor properti (subprime mortgage). Selanjutnya, kredit macet di sektor properti mengakibatkan efek domino ambruknya lembaga-lembaga keuangan besar di Amerika Serikat. Pasalnya, lembaga pembiayaan sektor properti pada umumnya meminjam dana jangka pendek dari pihak lain, termasuk lembaga keuangan. Jaminan yang diberikan perusahaan pembiayaan kredit properti adalah surat utang, mirip subprime mortgage securities, yang dijual kepada lembaga-lembaga investasi dan investor di berbagai negara. Padahal, surat utang itu ditopang oleh jaminan debitor yang kemampuan membayar KPR-nya rendah. Dengan banyaknya tunggakan kredit properti, perusahaan pembiayaan tidak bisa memenuhi kewajibannya kepada lembaga-lembaga keuangan, baik bank investasi maupun asset management. Hal itu mempengaruhi likuiditas pasar modal maupun sistem perbankan. Setelah itu, terjadi pengeringan likuiditas lembaga-lembaga keuangan akibat tidak memiliki dana aktiva untuk membayar kewajiban yang ada. Ketidakmampuan bayar kewajiban tersebut membuat lembaga keuangan lain yang memberikan pinjaman juga terancam bangkrut. Kondisi yang dihadapi lembaga-lembaga keuangan besar di Amerika Serikat juga mempengaruhi likuiditas lembaga keuangan lain, yang berasal dari Amerika Serikat maupun di luar Amerika Serikat. Terutama lembaga yang menginvestasikan uangnya melalui instrumen lembaga keuangan besar di Amerika Serikat. Di sinilah krisis keuangan global bermula (Ibid).
            Fenomena ini menunjukkan bahwa krisis finansial yang berefek domino tersebut terjadi akibat spekulasi serampangan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat. Lembaga-lembaga keuangan tanpa selektif memberikan kredit dan tidak mendapat jaminan pasti pengembalian kredit tersebut. Perusahaan pemberi kredit perumahan semisal Fannie Mae & Freddie Mac bukanlah pemain baru dalam urusan kredit rumah. Hanya saja pasar properti waktu itu sedang lesu, ditambah spekulasi tanpa jaminan pasti membawa dampak signifikan bagi perusahaan tersebut. Alhasil, tindakan berisiko ini juga menyeret lembaga-lembaga keuangan lainnya semisal Lehman Brothers dan AIG yang membeli surat utangnya.
           
            Dampak krisis bagi perekonomian
            Dalam buku Memahami Krisis Keuangan Global, dikatakan bahwa krisis finansial Amerika Serikat membawa dampak langsung dan tidak langsung.
  1. Dampak langsung krisis keuangan Amerika Serikat
a)      Kerugian bagi bank berskala global, terutama di kawasan Amerika Serikat dan Eropa. Total kerugian diperkirakan mendekati 1.000 miliar dollar AS. Perusahaan Merril Lynch mencatat kerugian 52,2 miliar dollar AS, Citigroup 55,1 miliar dollar AS, UBS AG 44,2 miliar dollar AS, HSBC 27,4 miliar dolalr AS.
b)      Jatuhnya lima lembaga keuangan terbesar, yaitu Bear Stearns, Lehman Brothers, Fannie Mae dan Freddie Mac, serta AIG.
c)      Skala kerugian mencapai tiga kali lipat dari dampak kerugian krisis finansial di Asia pada tahun 1997- 1998.
  1. Dampak tidak langsung
a)   Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan di tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat sebesar 2,0 persen di tahun 2007 menjadi 1,3 persen di tahun 2008. Sementara itu, tingkat inflasi Amerika Serikat sebesar 2,9 persen pada tahun 2007 meningkat menjadi 4,0 persen di tahun 2008 (analisis The Fed).
b)      Penurunan permintaan impor akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Kondisi ini mendorong penurunan harga komoditas global, sehingga menekan perekonomian negara-negara berkembang terutama yang berbasis pada ekspor komoditas. Contohnya, dua komoditi ekspor utama Indonesia yaitu CPO (crude palm oil) di Pasar Rotterdam mengalami penurunan harga dari 1,207 dollar AS per metrik ton di bulan Juni 2008, menjadi 705 dollar AS per metrik ton di bulan September 2008. Sementara, batubara (coal) di Pasar US Spot Big Sandy juga mengalami penurunan harga dari 133,5 dollar AS per short ton pada Juni 2008 menjadi 112,5 dollar AS per short ton pada September 2008.
c)      Dengan indikasi penurunan volume maupun nilai ekspor, sementara laju impor belum dapat diredam secara signifikan maka defisit perdagangan tak terhindarkan.
            Dampak krisis finansial Amerika Serikat meluas ke negara-negara lain karena adanya koneksivitas perdagangan antarnegara (free trade system). Efek perdagangan bebas yakni semakin mudahnya perekonomian suatu negara terkena badai krisis apabila fundamental ekonomi atau finansialnya tidak kokoh. Krisis finansial Amerika Serikat yang berdampak luas tersebut merupakan salah satu contoh kebijakan salah kaprah sektor finansial, ketiadaan perencanaan jangka panjang, aturan-aturan yang dilanggar, dan spekulasi yang tidak bertanggung jawab.

            Kebijakan pemerintah Amerika Serikat mengatasi krisis finansial
            Dampak krisis finansial Amerika Serikat direspon dengan berbagai kebijakan antara lain (Memahami Krisis Keuangan Global: 2008):
a)      Memberikan dana talangan (bailout) kepada korporasi yang bangkrut sebesar 700 miliar dollar AS. Dana talangan ini disediakan untuk menyelamatkan institusi keuangan dan perbankan demi mencegah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bailout dilakukan dalam bentuk pemerintah membeli surat utang subprime mortgage yang macet, yang dipegang oleh investor.
b)    Bank Sentral menurunkan suku bunga 0,5 persen menjadi 1,5 persen agar dana-dana masyarakat tidak mengendap di bank dan bisa menggerakkan sektor riil.
c)   Pemerintah membeli surat berharga jangka pendek 900 miliar dollar AS. Bank Sentral Amerika (Federal Reserve) mengumumkan rencana radikal untuk menutup sejumlah besar utang jangka pendek yang bertujuan menciptakan terobosan dalam kemacetan kredit yang mengakibatkan krisis finansial global.
            Kebijakan ini diambil pada tahun 2008 untuk merespon krisis finansial yang berdampak global. Ketika krisis finansial terjadi, Amerika Serikat berada di bawah pemerintahan George W. Bush. Kebijakan Bush yang lebih mengedepankan pendekatan militer dengan anggaran militer yang besar dan memberikan keistimewaan kepada pengusaha dan korporat menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis finansial Amerika Serikat. Pemerintahan Bush (Republik) dikenal dengan loyalitas mutlak pada sistem pasar bebas. Pasar bergerak tanpa pengawasan sehingga efeknya terasa ketika terjadi salah urus dalam kebijakan finansial.
            Pasca pemerintahan Bush, dengan berbagai gejolak krisis finansial, Amerika Serikat pun dipimpin oleh kubu Demokrat, Barack Obama. Obama mewarisi krisis parah, setelah great depression 1930, yang dibuat pendahulunya. Obama lantas mengambil langkah penyelesaian krisis yang berkembang makin parah dengan beberapa kebijakan:
a)      Menggelontorkan paket bantuan lebih dari 700 miliar dollar AS. Paket ini dimaksudkan untuk menyelamatkan perekonomian Amerika Serikat, terutama warga kelas menengah ke bawah.
b)      Menjamin adanya pengawasan yang ketat terhadap lembaga-lembaga keuangan. Selama ini para direktur, manajer, dan pejabat lembaga-lembaga keuangan menikmati gaji dan bonus yang besar, jet-jet dan kapal pesiar, dan hidup yang glamour.
c)      Melakukan penghematan di berbagai sektor dalam upaya mengatasi krisis namum tetap mendorong investasi, yakni di sektor energi, asuransi kesehatan, dan pendidikan.
d)     Menaikkan plafon utang negara dari 14,3 triliun dollar AS (2011) dimana sebelumnya berjumlah 10,6 triliun dollar AS sejak Obama memimpin pemerintahan (2009).
e)      Mengadakan kerjasama dengan negara maju lainnya dan negara anggota G-20 untuk mengembalikan kepercayaan dalam sistem keuangan, menghindari kemungkinan terjadinya proteksionisme dan meningkatkan permintaan dunia untuk produk Amerika Serikat.
            Paket bantuan senilai lebih dari miliar dollar merupakan upaya pemerintah untuk menyegarkan kembali perekonomian yang lesu dan perlahan bergerak negatif karena bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat. Obama juga ingin menaikkan pajak bagi kelas atas dan orang-orang kaya Amerika Serikat namun ditentang keras kubu Republik. Hal ini cukup beralasan karena para pengusaha kaya terkenal dekat dengan kubu Republik.
             Berkaitan dengan perbankan atau lembaga keuangan, Obama menjamin adanya pengawasan terhadap kinerja dan profesionalitasnya. Pemberian kredit kepada nasabah harus benar-benar tepat sasaran dan hanya nasabah yang layak, yang akan menerimanya. Pemberian kredit kepada nasabah yang tidak layak, menuai krisis yang berkepanjangan.
            Dalam konteks kerjasama dengan negara-negara lain, Obama berupaya membangun kembali kepercayaan terhadap lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat. Dalam sistem moneter internasional, kepercayaan (confidence) merupakan hal yang esensial (Robert Gilpin dan Jean Millis Gilpin: Tantangan Kapitalisme Global: Ekonomi Dunia Abad 21: 2002). Lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat yang ambruk satu per satu menandakan sistemnya salah urus. Dampaknya tidak hanya terjadi di Amerika Serikat saja melainkan juga lintas negara sehingga banyak negara pun meragukan kapabilitas lembaga-lembaga tersebut.
            Paket penyelamatan lainnya yakni dengan menaikkan plafon utang negara. Peningkatan plafon utang negara dari 14,3 triliun dollar AS dimaksudkan untuk menghindari gagal bayar. Utang Amerika Serikat pada tahun 2009 berjumlah 10,6 triliun dollar AS. Namun langkah ini tidak mudah karena kubu Republik cenderung tidak setuju. Kubu Republik setuju untuk menaikkan plafon utang apabila Obama memangkas pengeluaran pemerintah. Pemangkasan pengeluaran ini pun mesti dilakukan tanpa harus mengenakan pajak tambahan bagi orang-orang kaya dan pengusaha Amerika Serikat. Ini adalah upaya melindungi kepentingan kelas menengah atas yang menjadi partner kubu Republik.
            Berbagai upaya atau kebijakan yang digagas oleh Obama tak semuanya berjalan mulus. Kubu Republik merupakan kelompok penentang yang selalu kritis terhadap kebijakan yang dibuat Obama. Tentunya kepentingan politis tak terhindarkan. Tarik-menarik kepentingan berdampak pada kebijakan yang dipakai untuk memulihkan krisis finansial Amerika Serikat.

QUO VADIS INDONESIA DALAM PUSARAN APEC ?

        Pertemuan APEC yang berlangsung di Yokohama, Jepang, 13-14 November 2010 dengan tema “Perubahan dan Aksi” menghasilkan keputusan yang cukup strategis. Salah satu hasil pertemuan tersebut yakni disepakatinya upaya menyusun strategi pertumbuhan pasca krisis dengan mengadopsi tiga pilar yang sebelumnya dihasilkan dalam pertemuan negara-negara maju dan berkembang atau G-20 di Seoul, Korea Selatan. Tiga pilar tersebut antara lain keseimbangan, inklusivisme, dan keberlanjutan. Dalam pertemuan APEC, tiga pilar itu ditambah dua menjadi lima pilar. Pilar tambahan itu yaitu mengarahkan inovasi dan kondisi yang aman bagi kegiatan ekonomi.
            Pertemuan APEC di Yokohama, Jepang berlangsung dalam suasana pemulihan krisis ekonomi dunia dan pelambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota. Dalam konteks ini, negara-negara anggota APEC berupaya mendorong perjanjian perdagangan bebas dan mengkaji kembali langkah-langkah proteksi selama krisis keuangan. Hal ini berguna untuk membangun aktivitas ekonomi yang mendukung pemulihan krisis. Sebagai forum kerjasama ekonomi, tentunya APEC menjadi oase yang menjadi titik tuju negara-negara di kawasan dalam kerangka memperkuat basis perekonomiannya dan membangun kawasan perdagangan bebas yang mampu diakses oleh semua negara anggota.
            APEC merupakan salah satu forum kerjasama ekonomi regional yang cukup penting di dunia. APEC mewakili sekitar 39 % penduduk dunia atau 2,6 milyar penduduk yang tersebar di 21 ekonomi (Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chile, China, Taiwan, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Meksiko, New Zealand, Papua New Guinea, Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Hongkong, Thailand, Vietnam, dan Amerika Serikat) di kawasan Asia Pasifik. Sebagai suatu kerjasama ekonomi, APEC perlu diperhitungkan mengingat GDP (Gross Domestic Product) kumulatif forum tersebut yang mencapai 56 % dari GDP dunia dan total perdagangan di APEC yang mencapai 48,3 % dari total perdagangan dunia. Salah satu peran penting APEC adalah mendekatkan ekonomi maju dan berkembang karena komposisi keanggotaannya yang unik yang merupakan gabungan antara negara maju dan berkembang.
            APEC telah menyelesaikan Trade Facilitation Action Plan (TFAP) tahap pertama (2002-2006) di empat area utama fasilitasi perdagangan, yaitu customs procedure, business mobility, standards and conformance dan e-commerce. Di bidang liberalisasi perdagangan dan investasi, APEC telah melakukan serangkaian program dan kegiatan konkrit yang berhasil meningkatkan ekspor kawasan sebesar 113 % untuk ekonomi berkembang atau 2,5 triliun dollar Amerika dan mendorong pertumbuhan foreign direct investment sebesar 475 % bagi ekonomi berkembang. Sejak dicanangkan, terdapat lebih dari 1.400 inisiatif dan program fasilitasi perdagangan yang telah dilaksanakan oleh APEC dalam kerangka fasilitasi perdagangan di keempat area tersebut. Berdasarkan jumlah tersebut, 62 % telah berhasil diselesaikan, 24 % masih dalam proses dan sekitar 14 % masih tertunda. Tingkat keberhasilan pelaksanaan program di area customs procedures merupakan yang tertinggi, yaitu 69 %, sementara business mobility, standards dan e-commerce memiliki tingkat pencapaian masing-masing sebesar 60 %, 52 % dan 47 %.
            Lantas, bagaimana peran APEC bagi Indonesia ? Bagi Indonesia, APEC memiliki makna yang sangat penting. Pada tahun 2006 total perdagangan Indonesia ke anggota APEC berjumlah sekitar 98,34 milyar dollar Amerika atau 66,78 % dari total perdagangan Indonesia. Selain itu, 47,25 % persetujuan penanaman modal asing yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia berasal dari investor di 16 ekonomi APEC.
Indonesia juga memainkan peran yang sangat menentukan untuk merumuskan visi APEC. Indonesia berperan aktif dalam mencetuskan Bogor Goals, yaitu mewujudkan kawasan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka tahun 2010 untuk negara maju serta tahun 2020 untuk negara berkembang. Pencapaian Bogor Goals didasarkan pada tiga pilar yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitas usaha, dan kerjasama ekonomi dan teknik. Anggota APEC saat ini merepresentasikan sepertiga populasi dunia dan hampir 50 % kekuatan perekonomian global. Dengan kata lain, potensi pasar global dan gravitasi aktivitas ekonomi dunia berada di kawasan ini.
Ini adalah peluang bagi Indonesia. Peran penting APEC dalam meningkatkan kerjasama ekonomi di kawasan harus dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mengamankan kepentingan nasional kita di era perdagangan bebas dan investasi yang semakin bebas di Asia Pasifik. APEC bisa berperan sebagai tempat melibatkan komunitas bisnis Indonesia dalam proses pengembangan kebijakan, sarana pengembangan kapasitas melalui pemanfaatan proyek-proyek APEC, forum bertukar pengalaman serta forum yang memungkinkan Indonesia untuk memproyeksikan kepentingan-kepentingannya dan mengamankan posisinya dalam tata hubungan ekonomi internasional yang bebas dan terbuka.
Ada beberapa hal mendasar yang perlu diperhatikan berkaitan dengan eksistensi APEC.
Pertama, gaung APEC mulai melemah ketika muncul begitu banyak perjanjian perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik. Dalam konteks ASEAN, negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia sepakat mempercepat ASEAN Economic Community 2015 meski sudah membentuk AFTA (ASEAN Free Trade Area) sejak 1992. Ketidakjelasan target pencapaian membuat Indonesia sulit menentukan arah dalam pusaran liberalisasi perdagangan dan investasi.
Kedua, trade facilitation dan capacity building dalam aktivitas APEC sulit diukur manfaatnya. Hal ini berkaitan dengan kemudahan dalam mengakses perekonomian yang belum merata kepada semua negara anggota di kawasan.
Ketiga, kebijakan pemerintah berkaitan dengan liberalisasi perdagangan dan investasi misalnya pembebasan bea masuk, penghapusan kuota, dan hambatan non tarif lainnya harus jelas dan terarah sehingga tidak memarginalkan produk dalam negeri. Produk unggulan dalam negeri tetap harus kita prioritaskan sehingga tidak ada pendewaan yang berlebihan pada produk-produk asing. Forum kerjasama APEC adalah ajang bagi kita untuk memperjuangkan kepentingan nasional kita di mata internasional.
Keempat, kompetensi pihak yang ikut berunding dalam kerjasama APEC. Selama ini, seringkali para perunding kita tidak didampingi oleh ahli-ahli yang kompeten dalam bidangnya misalnya bidang jasa, industri, pertanian, dan ekonomi regional. Hal ini membuat kita kalah ketika bernegosiasi dengan negara-negara lain yang tentunya telah mempunyai persiapan matang.
Kelima, Indonesia harus bisa memaksimalkan dukungan internasional bagi kepentingan domestik dalam berbagai bidang seperti  counter terrorism, anti corruption, dan climate change. Isu-isu non ekonomi ini yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada aktivitas ekonomi terutama pencapaian kesejahteraan domestik.
Adagium think globally but act locally perlu diubah menjadi think and act globally and regionally dalam forum seperti APEC. APEC bisa menjadi potret regionalisme sebagai alternatif dari unilateralisme dan multilateralisme. Regionalisme mengandaikan adanya peran maksimal negara-negara di kawasan tertentu dengan tujuan-tujuan tertentu. Lantas, di manakah posisi Indonesia ?
Indonesia adalah negara yang besar dengan potensi ekonomi yang menjanjikan dan harus muncul sebagai pemain bukan penonton dalam era perdagangan dan investasi. Di satu sisi, APEC memberikan kontribusi yang memadai bagi perekonomian kita terutama dalam konteks perdagangan bebas dengan negara-negara lain di kawasan. Namun di sisi lain, perlu diingat bahwa berbagai policy atau kebijakan yang dibuat pemerintah harus benar-benar mengakomodasi kepentingan masyarakat Indonesia terutama kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah. Selama ini memang pemerintah telah mencanangkan KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk membantu pengusaha-pengusaha mikro, kecil, dan menengah yang kesulitan modal atau akses pasarnya tetapi aktivitas ini tidak hanya berhenti pada target pencitraan diri pemerintah. Perlu ada desain kebijakan yang jelas dan kontinyu. Pemerintah juga bisa memanfaatkan forum APEC ini untuk mensosialisasikan produk unggulan Indonesia yang mampu bersaing sekaligus mencari pasar strategis selain Eropa.
Sekali lagi, Indonesia mempunyai potensi ekonomi yang dahsyat. Indonesia tidak bisa hanya bertindak sebagai penonton yang baik dalam forum-forum kerjasama ekonomi seperti APEC. Indonesia harus menjadi pemain yang mempunyai bargain position dalam menentukan hasil pertandingan. Dengan itu, diharapkan APEC tetap relevan bagi Indonesia terutama dalam menjalankan hubungan ekonomi yang dinamis dan saling menguntungkan dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Pertanyaan sumbang mengenai peran APEC bisa jadi akan menjadi cerita usang apabila pemerintah benar-benar tampil sebagai pemain sesungguhnya dalam forum itu. Quo vadis Indonesia ?




Referensi

Kompas, 15 November 2010.

“Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC)” dalam http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=RegionalCooperation&IDP=3&P=Regional&l=id, diunduh 1 November 2010.

APEC Singapura: Ambisi Mewujudkan Perdagangan Bebas dan Kepentingan Indonesia” dalam http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=907&type=6, diunduh 13 November 2010.
Dr. N. Hassan Wirajuda, “Mendorong Fasilitasi Perdagangan dalam APEC,” dalam  http://www.en.indonesia.nl/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=123, diunduh 1 Desember 2010.

Mudrajad Kuncoro, “ANALISIS, APEC dan Kepentingan Indonesia” dalam http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/ekonomi--bisnis/analisis-apec-dan-kepentingan-indo.html, diunduh 20 November 2010.

“Negara APEC Siap Wujudkan Perdagangan Bebas” dalam http://bisnis.vivanews.com/news/read/188678-negara-apec-siap-wujudkan-perdagangan-bebas, diunduh 12 Oktober 2010.






NEGARA DAN LIBERALISASI PERDAGANGAN


Sekitar 35 menteri perdagangan bertemu di India pada tanggal 4-5 September lalu dalam rangka menghidupkan lagi pembicaraan mengenai liberalisasi perdagangan dunia di bawah payung WTO atau Organisasi Perdagangan Dunia. Secara umum liberalisasi perdagangan dunia dinilai gagal karena adanya resistensi dari negara-negara berkembang terhadap kewenangan negara-negara maju. Negara-negara berkembang menilai adanya ketimpangan dalam penerapan kebijakan liberalisasi perdagangan yang cenderung menguntungkan negara-negara maju. Negara-negara berkembang diharuskan membuka pasar domestik untuk produk-produk impor sedangkan negara-negara maju menutup rapat-rapat pasar domestik alias memproteksi produk dalam negerinya. Perundingan tersebut dilatarbelakangi keinginan untuk mencapai keadilan dalam perdagangan global, kesinambungan pasar internasional yang tidak lagi tendensius, dan menciptakan tata dunia yang adil dalam perdagangan dunia. Perdagangan dunia sampai saat ini beromzet sekitar 32 triliun dollar AS.
            Sejatinya perdagangan internasional dijadikan momentum kerjasama yang ideal dalam mempererat hubungan antarbangsa dalam ranah ekonomi. Namun dalam implementasinya, perdagangan internasional justru merugikan negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang seringkali menjadi korban kebijakan negara-negara maju. Salah satu contohnya Indonesia. Kampanye AS bahwa minyak sawit menimbulkan penyakit dan penolakan ekspor udang merupakan salah satu contoh kebijakan sepihak AS yang merugikan Indonesia. Belum lagi hambatan tarif yang membatasi kuota produk ekspor Indonesia dan sekaligus mematikan kreativitas produk domestik.
            Sampai di titik ini pemerintah memainkan peran yang cukup penting dalam memperjuangkan kepentingan nasional atau domestik di ranah internasional. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di dunia tentu harus bisa meningkatkan bargain position apabila berhadapan dengan negara maju seperti AS dalam melindungi produk-produk domestik maupun produsennya. Sejauh ini, mungkin kita belum melihat inisiatif yang positif pemerintah dalam mengayomi produk-produk lokal. Di satu pihak, pemerintah mengkampanyekan jargon ‘Aku Cinta Produk Indonesia’, menggaungkan upaya meningkatkan produk-produk domestik agar bisa bersaing dengan produk-produk asing namun di pihak lain pemerintah malah membuka pasar domestik lebar-lebar terhadap produk asing. Alhasil produk domestik kalah bersaing karena kualitasnya berbeda. Produk-produk asing cukup berkualitas dan dijual murah di pasar Indonesia karena di negara asal produk-produk tersebut mendapat subsidi dari pemerintahnya sementara produk-produk lokal kita tidak mendapat subsidi dan kurang berkualitas.
            Situasi demikian sangat memprihatinkan apabila kita menilik perkembangan dunia yang semakin maju dan kompetisi antarnegara yang semakin meningkat membutuhkan skill dan penguasaan titik-titik strategis dalam sektor ekonomi maupun sektor lain. Kita tentu tak ingin ketinggalan kereta. Label ‘negara berkembang’ akan tetap kita sandang apabila kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah selalu menguntungkan para pemilik modal atau aktor-aktor perusahaan multinasional atau MNCs. Sejauh ini kita menyaksikan bahwa negara atau pemerintah takluk bila berhadapan dengan kekuatan modal. Elemen yang mendasar yakni kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial hanyalah penghias konstitusi. Undang-Undang dirancang dan disetujui bukan untuk memperjuangkan nasib rakyat miskin tetapi malah memenuhi keinginan dan ketamakan para pemilik modal, elit-elit politik, dan pihak asing.
            Sebenarnya kita mempunyai potensi yang luar biasa. Kekayaan alam yang melimpah, keanekaragaman hayati yang menjanjikan, dan beragam keunikan lain yang bisa menjadi fondasi dasar perekonomian bangsa. Potensi-potensi tersebut bisa menjadi modal pembangunan dan pemerataan ekonomi domestik sehingga bisa bersaing dalam ranah internasional. Selama ini kita hanya mengandalkan kekayaan alam misalnya minyak dan gas serta pertanian misalnya kelapa sawit untuk target ekspor ke negara-negara lain. Padahal masih ada peluang ekspor lain yang bisa menjadi andalan misalnya elektronik, tekstil, komponen komputer, mebel yang belum dikembangkan dan kurang mendapat perhatian pemerintah dan pelaku usaha. Untuk sementara (2008) Indonesia berada pada peringkat 31 dunia negara-negara pengekspor dengan nilai ekspor 138,8 milyar dollar AS. Hal ini bisa menjadi pemicu pemerintah untuk membuka dan mengembangkan peluang usaha lain yang berkualitas dengan tujuan pasar internasional.
            Namun sebelumnya pemerintah harus membuat regulasi yang jelas dalam persoalan ekspor-impor dan memberikan subsidi yang memadai untuk meningkatkan produk-produk lokal. Kualitas produk-produk domestik harus ditingkatkan agar bisa berkompetisi di pasar global. Produk-produk impor baik yang melalui pasar legal maupun ilegal juga harus dibatasi. Konsentrasinya adalah meningkatkan produk-produk lokal dengan cara memberikan subsidi, insentif, atau modal yang mencukupi kepada para pelaku usaha menengah, kecil, dan mikro yang kekurangan modal serta bimbingan dan pelatihan sesuai bidang usaha masing-masing. Apabila pemerintah serius dalam melindungi produsen dan produk lokal maka kita akan mampu bersaing dengan produk-produk negara lain di pasar internasional. Selain itu, secara tidak langsung pemerintah membuka lapangan kerja, memberdayakan ekonomi rakyat, dan menyejahterakan rakyat.
            Sadar atau tidak, apabila kita sedari dini tidak mengembangkan dan meningkatkan perekonomian rakyat yang sesuai dengan karakteristik bangsa maka kita akan tetap menjadi negara periphery (negara berkembang atau pinggiran). Dikotomi negara center-periphery (negara maju-negara berkembang) akan tetap berlangsung dan kita semakin bergantung pada negara-negara maju melalui utang-utang luar negeri yang berlabel bantuan, lembaga-lembaga keuangan internasional misalnya IMF, Bank Dunia, ADB serta semakin tunduk pada kekuatan modal internasional seperti MNCs (Multinational Corporations). Belum lagi dalam konteks liberalisasi perdagangan di era globalisasi ini yang menuntut efisiensi dan efektivitas dalam kompetisi antarnegara. Liberalisasi perdagangan yang merupakan mainstream negara-negara maju tentunya harus dicerna berdasarkan perspektif domestik. Liberalisasi perdagangan cenderung meminimalisasi peran negara atau pemerintah dalam membuat regulasi atau kebijakan yang melindungi masyarakat lokal. Oleh karena itu, pemerintah harus bisa membuat regulasi yang memihak masyarakat domestik. Regulasi yang jelas dan tidak tunduk pada kekuatan modal asing merupakan nilai plus tersendiri pemerintah dalam meningkatkan ekonomi lokal. Pemberdayaan potensi ekonomi domestik harus dimaksimalkan agar bisa bersaing di pasar internasional. Negara harus memainkan peran dominan dalam upaya meminimalisasi ketimpangan yang muncul dalam liberalisasi perdagangan terutama antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang sehingga tercipta pasar internasional yang adil dan seimbang.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Aris Ceme Nuwa - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger