ACFTA DAN RELEVANSINYA BAGI INDONESIA - Aris Ceme Nuwa
Headlines News :
Home » » ACFTA DAN RELEVANSINYA BAGI INDONESIA

ACFTA DAN RELEVANSINYA BAGI INDONESIA

Written By ariscemenuwa on Jumat, 18 Mei 2012 | 06.55

          Perjanjian perdagangan bebas ASEAN – China (ACFTA / ASEAN China Free Trade Agreement) per 1 Januari 2010 menuai banyak pro dan kontra. Polemik terjadi mengingat kondisi domestik yang belum siap menghadapi perdagangan bebas dengan China yang memiliki keunggulan dalam bidang industri. Sebelum pelaksanaannya 1 Januari 2010, banyak kalangan berupaya mendesak pemerintah untuk menunda liberalisasi pasar ASEAN – China karena berdampak signifikan bagi Indonesia. Salah satunya adalah Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) yang mendesak penundaan pemberlakuan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN – China untuk sejumlah sektor maksimal selama 3 tahun. Berdasarkan data Kantor Menko Perekonomian, dari sekitar 2.500 sektor usaha di Indonesia, terdapat 303 sektor yang belum siap menerima FTA. Sektor yang belum siap antara lain : tekstil, baja, elektronik, kosmetik, ban, mebel, pengolahan kakao, industri alat kesehatan, aluminium, petrokimia hulu, kaca lembaran, sepatu, mesin perkakas, dan kendaraan bermotor. Penundaan tersebut diminta Gabungan Pengusaha Jamu dan Federasi Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel). Penundaan itu dimaksudkan agar semua infrastruktur dan kebijakan pemerintah juga siap dalam mendukung sektor yang bersangkutan. Per desember 2009, barang-barang China telah menguasai hingga 50 persen pangsa pasar di Indonesia. Tentunya hal ini mencemaskan banyak pihak mengingat barang-barang produk China berharga murah sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Sebelum perdagangan bebas pun barang-barang China sudah membanjiri pasar Indonesia secara ilegal.
            Industri manufaktur yang menyerap banyak tenaga kerja pun terpaksa harus gigit jari dengan kedatangan produk-produk murah China. Gempuran produk-produk China lantas membuat produk manufaktur yang memang tidak punya daya saing semakin kolaps. Apindo pun menyuarakan upaya renegosiasi 228 pos tarif sektor manufaktur yang dapat menekan resiko penutupan usaha dan penurunan pangsa pasar akibat banjir impor produk-produk murah China. Implementasi liberalisasi pasar ASEAN – China yang berlangsung sejak 1 Januari 2010 dinilai semakin memperparah penurunan daya saing terutama industri padat karya yang relatif berteknologi rendah seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) subsektor garmen, alas kaki, mainan tradisional, dan kerajinan. Ekonom UGM, Mudrajad Kuncoro mengatakan bahwa rendahnya daya saing pun berimbas pada daya saing ekspor yang terus melemah, bahkan kondisi diperparah dengan biaya mengurus kontainer di pelabuhan (tarif handling charge/THC) masih sangat tinggi di kawasan ASEAN atau sekitar US$ 90 per kontainer ukuran 22 feet. Kondisi itu masih ditambah biaya parkir dan pungutan kontainer lewat yang dinilai memberatkan. Selain itu, biaya pungutan-pungutan tak resmi di pelabuhan mencapai 7,5 persen dari biaya ekspor.
            Upaya mendesak pemerintah untuk menegosiasikan kembali pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN – China berlandaskan pada realitas kondisi industri dalam negeri yang belum punya daya saing dan rentan terkena imbas masuknya produk-produk impor. Kebijakan yang diambil pemerintah seharusnya mengacu pada situasi riil masyarakat khususnya sektor-sektor usaha sensitif yang paling rentan terhadap dampak perdagangan bebas ASEAN – China. Penurunan daya saing industri manufaktur disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat atau tidak berbasis pada ekonomi rakyat, rendahnya kualitas sumber daya manusia, minimnya inovasi teknologi, dan anggaran terbatas pada usaha-usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Alhasil, ketika perdagangan bebas diberlakukan, Indonesia atau industri dalam negeri pun terkejut. Ketiadaan ketahanan daya saing industri domestik terhadap barang-barang impor membuat produk-produk domestik semakin jarang dilirik konsumen. Imbasnya pun terasa dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja atau PHK karena kelesuan industri domestik.
            Oleh karena itu, pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas ASEAN – China harus diikuti dengan kebijakan politik ekonomi pemerintah yang jelas dan tegas terutama untuk membangun daya saing dari keuntungan komparatif (comparative advantage) menjadi keuntungan yang kompetitif (competitive advantage). Pemerintah harus bisa membuka dan memanfaatkan pasar domestik serta membangun sumber-sumber ekonomi yang berbasis teknologi dan pengetahuan. Pemanfaatan sektor-sektor strategis domestik bisa menjadi modal dasar meningkatkan daya saing industri nasional. Industri manufaktur yang didukung dengan keberadaan sumber daya alam yang melimpah dan kesediaan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup banyak harus dilihat sebagai peluang untuk mengembangkan pasar domestik. Kebijakan pemerintah yang berbasis pada ekonomi kerakyatan dengan dukungan penuh pada UMKM-UMKM bisa membuat ekonomi domestik kembali bergeliat.
            Pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas ASEAN – China yang telah dimulai per 1 Januari 2010 harus dilihat sebagai momentum membangun daya saing industri domestik yang berbasis pada keuntungan kompetitif. Produk-produk China yang semakin memadati pasar domestik harus dilawan dengan penguatan infrasktruktur ekonomi domestik terutama sektor-sektor usaha yang terkena dampak langsung perdagangan bebas seperti industri manufaktur. China mempunyai kelebihan pada kekuatannya memproduksi banyak barang. Dalam arti bahwa China unggul dari segi kuantitas. Namun belum tentu China juga unggul dari segi kualitas. Kasus seperti susu made in China yang mengandung melamin yang memakan korban dan menghebohkan dunia merupakan contoh kualitas produk China yang dipertanyakan. Indonesia harus bisa mengembangkan kualitas produk domestik agar bisa bersaing dengan produk impor.
            Kolaborasi antara pemerintah dan dunia usaha dalam upaya membangun dan meningkatkan daya saing industri domestik menjadi prioritas utama. Pemerintah harus membuat kebijakan yang benar-benar pro dunia usaha. Kebijakan yang telah dibuat yang berkaitan dengan perjanjian perdagangan bebas ASEAN - China hendaknya selalu ditinjau dan diawasi sehingga tidak merugikan kalangan pengusaha mikro, kecil, dan menengah.  Dukungan pemerintah berupa insentif yang bisa menumbuhkan asa industri nasional untuk bersaing dengan produk-produk impor setidaknya merupakan representasi perhatian dan tanggung jawab pemerintah terhadap sektor-sektor ekonomi penting Indonesia. Pemerintah mempunyai tanggung jawab besar menciptakan ruang yang memadai bagi industri lokal untuk memperkuat daya saing dan mengembangkan inovasi industri yang berbasiskan teknologi dan pengetahuan sehingga tidak terkikis dan kolaps oleh gempuran dan membanjirnya barang-barang impor.









Referensi

Kompas, 19 Desember 2009.
http://web.bisnis.com/sektor-riil/manufaktur/1id160948.html
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/02/12/20290446/ICMI:.Hadapi.ACFTA.Daya.Saing.Harus.Dibangun
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Aris Ceme Nuwa - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger