Perjanjian perdagangan bebas ASEAN – China (ACFTA / ASEAN China Free Trade Agreement)
per 1 Januari 2010 menuai banyak pro dan kontra. Polemik terjadi mengingat
kondisi domestik yang belum siap menghadapi perdagangan bebas dengan China yang
memiliki keunggulan dalam bidang industri. Sebelum pelaksanaannya 1 Januari
2010, banyak kalangan berupaya mendesak pemerintah untuk menunda liberalisasi
pasar ASEAN – China karena berdampak signifikan bagi Indonesia. Salah satunya
adalah Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) yang mendesak penundaan
pemberlakuan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN – China untuk sejumlah sektor
maksimal selama 3 tahun. Berdasarkan data Kantor Menko Perekonomian, dari
sekitar 2.500 sektor usaha di Indonesia, terdapat 303 sektor yang belum siap
menerima FTA. Sektor yang belum siap antara lain : tekstil, baja, elektronik,
kosmetik, ban, mebel, pengolahan kakao, industri alat kesehatan, aluminium,
petrokimia hulu, kaca lembaran, sepatu, mesin perkakas, dan kendaraan bermotor.
Penundaan tersebut diminta Gabungan Pengusaha Jamu dan Federasi Gabungan
Pengusaha Elektronik (Gabel). Penundaan itu dimaksudkan agar semua
infrastruktur dan kebijakan pemerintah juga siap dalam mendukung sektor yang
bersangkutan. Per desember 2009, barang-barang China telah menguasai hingga 50
persen pangsa pasar di Indonesia. Tentunya hal ini mencemaskan banyak pihak
mengingat barang-barang produk China berharga murah sehingga mudah dijangkau
oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Sebelum perdagangan bebas pun
barang-barang China sudah membanjiri pasar Indonesia secara ilegal.
Industri manufaktur
yang menyerap banyak tenaga kerja pun terpaksa harus gigit jari dengan
kedatangan produk-produk murah China. Gempuran produk-produk China lantas
membuat produk manufaktur yang memang tidak punya daya saing semakin kolaps.
Apindo pun menyuarakan upaya renegosiasi 228 pos tarif sektor manufaktur yang
dapat menekan resiko penutupan usaha dan penurunan pangsa pasar akibat banjir
impor produk-produk murah China. Implementasi liberalisasi pasar ASEAN – China
yang berlangsung sejak 1 Januari 2010 dinilai semakin memperparah penurunan
daya saing terutama industri padat karya yang relatif berteknologi rendah
seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) subsektor garmen, alas kaki, mainan
tradisional, dan kerajinan. Ekonom UGM, Mudrajad
Kuncoro mengatakan bahwa rendahnya daya saing pun berimbas pada daya saing
ekspor yang terus melemah, bahkan kondisi diperparah dengan biaya mengurus
kontainer di pelabuhan (tarif handling
charge/THC) masih sangat tinggi di kawasan ASEAN atau sekitar US$ 90 per
kontainer ukuran 22 feet. Kondisi itu masih ditambah biaya parkir dan pungutan
kontainer lewat yang dinilai memberatkan. Selain itu, biaya pungutan-pungutan
tak resmi di pelabuhan mencapai 7,5 persen dari biaya ekspor.
Upaya mendesak
pemerintah untuk menegosiasikan kembali pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN –
China berlandaskan pada realitas kondisi industri dalam negeri yang belum punya
daya saing dan rentan terkena imbas masuknya produk-produk impor. Kebijakan
yang diambil pemerintah seharusnya mengacu pada situasi riil masyarakat
khususnya sektor-sektor usaha sensitif yang paling rentan terhadap dampak
perdagangan bebas ASEAN – China. Penurunan daya saing industri manufaktur
disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat atau tidak berbasis
pada ekonomi rakyat, rendahnya kualitas sumber daya manusia, minimnya inovasi
teknologi, dan anggaran terbatas pada usaha-usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM). Alhasil, ketika perdagangan bebas diberlakukan, Indonesia atau industri
dalam negeri pun terkejut. Ketiadaan ketahanan daya saing industri domestik
terhadap barang-barang impor membuat produk-produk domestik semakin jarang dilirik
konsumen. Imbasnya pun terasa dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja atau
PHK karena kelesuan industri domestik.
Oleh karena itu,
pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas ASEAN – China harus diikuti dengan
kebijakan politik ekonomi pemerintah yang jelas dan tegas terutama untuk
membangun daya saing dari keuntungan komparatif (comparative advantage) menjadi keuntungan yang kompetitif (competitive advantage). Pemerintah harus
bisa membuka dan memanfaatkan pasar domestik serta membangun sumber-sumber
ekonomi yang berbasis teknologi dan pengetahuan. Pemanfaatan sektor-sektor
strategis domestik bisa menjadi modal dasar meningkatkan daya saing industri
nasional. Industri manufaktur yang didukung dengan keberadaan sumber daya alam
yang melimpah dan kesediaan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup banyak harus
dilihat sebagai peluang untuk mengembangkan pasar domestik. Kebijakan
pemerintah yang berbasis pada ekonomi kerakyatan dengan dukungan penuh pada
UMKM-UMKM bisa membuat ekonomi domestik kembali bergeliat.
Pemberlakuan
perjanjian perdagangan bebas ASEAN – China yang telah dimulai per 1 Januari
2010 harus dilihat sebagai momentum membangun daya saing industri domestik yang
berbasis pada keuntungan kompetitif. Produk-produk China yang semakin memadati pasar
domestik harus dilawan dengan penguatan infrasktruktur ekonomi domestik
terutama sektor-sektor usaha yang terkena dampak langsung perdagangan bebas
seperti industri manufaktur. China mempunyai kelebihan pada kekuatannya
memproduksi banyak barang. Dalam arti bahwa China unggul dari segi kuantitas.
Namun belum tentu China juga unggul dari segi kualitas. Kasus seperti susu made in China yang mengandung melamin
yang memakan korban dan menghebohkan dunia merupakan contoh kualitas produk
China yang dipertanyakan. Indonesia harus bisa mengembangkan kualitas produk
domestik agar bisa bersaing dengan produk impor.
Kolaborasi antara
pemerintah dan dunia usaha dalam upaya membangun dan meningkatkan daya saing
industri domestik menjadi prioritas utama. Pemerintah harus membuat kebijakan
yang benar-benar pro dunia usaha. Kebijakan yang telah dibuat yang berkaitan
dengan perjanjian perdagangan bebas ASEAN - China hendaknya selalu ditinjau dan
diawasi sehingga tidak merugikan kalangan pengusaha mikro, kecil, dan menengah. Dukungan pemerintah berupa insentif yang bisa
menumbuhkan asa industri nasional untuk bersaing dengan produk-produk impor setidaknya
merupakan representasi perhatian dan tanggung jawab pemerintah terhadap
sektor-sektor ekonomi penting Indonesia. Pemerintah mempunyai tanggung jawab
besar menciptakan ruang yang memadai bagi industri lokal untuk memperkuat daya
saing dan mengembangkan inovasi industri yang berbasiskan teknologi dan
pengetahuan sehingga tidak terkikis dan kolaps oleh gempuran dan membanjirnya
barang-barang impor.
Referensi
Kompas, 19 Desember 2009.
http://web.bisnis.com/sektor-riil/manufaktur/1id160948.html
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/02/12/20290446/ICMI:.Hadapi.ACFTA.Daya.Saing.Harus.Dibangun
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !