Plagiarisme dalam dunia pendidikan merupakan fenomena
tersendiri yang mengundang tanya dan kecemasan. Pertanyaan mengacu pada
keberadaan akademisi yang menghalalkan segala cara untuk meraih gelar akademis,
termasuk menjiplak karya ilmiah. Kecemasan tentunya berakar pada rasa khawatir
akan kerdilnya apresiasi pada pendidikan. Pendidikan bukan lagi dianggap
entitas yang memanusiakan manusia melainkan batu loncatan untuk meraih gelar
akademis dan kehormatan dalam dunia akademisi.
Pelanggaran
akademis (plagiarisme) yang dilakukan salah seorang guru besar salah satu
universitas di Bandung boleh dikatakan puncak gunung es dari begitu banyak
kasus dalam dunia pendidikan. Banyak pihak terkejut dan tak percaya. Namun
realitas berkata demikian. Integritas yang terkikis karena kemuliaan semu
membuat moral dan sense of belonging
akademisi akan hakikat pengetahuan menjadi cerita sumbang yang tak lagi punya
makna. Berburu gelar, jabatan, kehormatan dalam dunia akademis membuat orang
lupa akan tujuan dasar pendidikan yakni memanusiakan manusia. Manusia yang bergerak
dalam pendidikan bukanlah manusia yang berorientasi hasil tapi manusia yang
mengedepankan proses. Dalam proses itu, nilai-nilai fundamental pendidikan
menjadi pilar absolut yang menuntun dan membimbing manusia meraih tujuan
pendidikan yang hakiki.
Fenomena
plagiarisme yang merebak tersebut merupakan akumulasi keinginan instan
akademisi meraih kehormatan dalam dunia pendidikan. Budaya instan adalah gejala
nyata dalam realitas dunia yang semakin maju. Keberadaan teknologi yang masif
berkembang dalam masyarakat membuat kaum akademis terperangkap dalam
sekat-sekat kemuliaan diri dengan memanfaatkan jasa teknologi secara tidak
benar. Mentalitas instan yang didukung tawaran-tawaran menggiurkan dari
teknologi membuat kaum akademis pun rela menanggalkan jubah integritas dan
hakikat pendidikan.
Tak bisa
dinafikan bahwa mentalitas instan akademisi adalah cermin dari kerdilnya
pemahaman akan pendidikan yang berorientasi proses. Meminjam istilah Koentjaraningrat, mentalitas instan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya menerabas. Dalam budaya
menerabas, segala cara dihalalkan demi mencapai hasil yang diinginkan.
Keinginan untuk mencapai hasil dalam waktu yang singkat dengan menghalakan
segala cara seringkali membuat akal sehat tak bisa bekerja secara optimal.
Rasionalitas menjadi tumpul dan berganti ambisi meraih puncak tertinggi dan
dihormati banyak orang. Rasionalitas yang seharusnya menjadi tameng untuk
berdinamika dalam dunia pendidikan malah ditempatkan di urutan terakhir dari
pencapaian akademis.
Mentalitas
instan, budaya menerabas, kerdilnya apresiasi pada pendidikan merupakan gejala
laten yang harus diberantas demi perwujudan nilai-nilai dasar pendidikan yakni
memanusiakan manusia. Integritas pribadi yang mulai luntur harus dibenahi
dengan mengevaluasi sistem pendidikan yang diterapkan di tanah air ini. Sistem
pendidikan yang merumuskan visi dan misi berdasarkan angka-angka statistik baku,
berorientasi hasil, tidak punya jiwa, dan berujung pada komersialisasi
pendidikan harus segera dibenahi. Pemangku kepentingan atau stakeholders di dunia pendidikan harus
melihat gejala plagiarisme dalam dunia pendidikan sebagai masalah riskan yang
butuh penanganan darurat.
Pemerintah,
akademisi, dan masyarakat harus bersama-sama mengawal proses pendidikan secara
komprehensif. Dalam arti bahwa pendidikan yang mengedepankan proses bisa
berjalan dengan baik bila didukung oleh elemen-elemen tersebut secara
menyeluruh. Mentalitas instan dan budaya menerabas bisa diatasi dengan pengawalan
ketat terhadap aturan-aturan yang menjadi konsensus bersama. Proporsionalitas
antara kesepakatan yang dihasilkan di atas kertas dengan praktek di lapangan
harus menjadi prioritas utama. Realitas menunjukkan bahwa seringkali aturan
yang telah dibuat tidak diterapkan secara maksimal di lapangan. Para pemangku
kepentingan sibuk dengan urusan masing-masing dan pendidikan atau lembaga
pendidikan hanya dipandang sebagai agen pencetak tenaga-tenaga siap pakai.
Dinamika yang berjalan dalam dunia pendidikan pun seringkali tidak sejalan
dengan tujuan dasar pendidikan itu sendiri. Hasilnya adalah muncul budaya
instan, budaya menerabas yang berujung pada plagiarisme yang menodai esensi
pendidikan bangsa ini.
Oleh karena
itu, kerjasama pihak-pihak yang berkepentingan dalam dunia pendidikan sangat
diharapkan demi mewujudkan pendidikan yang berkualitas, bermoral, dan bersandar
pada jiwa pendidikan yang hakiki yakni memanusiakan manusia. Selain itu, penerapan
budaya malu menjiplak karya orang lain atau plagiat harus diberikan kepada anak
didik sejak usia dini sehingga peserta didik tahu dan sadar bahwa plagiarisme
adalah tindakan yang tidak dibenarkan dalam dunia pendidikan. Penjelasan
komprehensif mengenai plagiarisme harus mendapat tempat utama untuk mencegah
munculnya akademisi-akademisi instan yang mengerdilkan bahkan meniadakan esensi
pendidikan.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !