“ Jangan memberi
seseorang ikan
tetapi berikanlah dia kail.
Ajarilah dia bagaimana menangkap
ikan dan
dia akan mendapatkan ikan seumur
hidupnya “
(Mark
Twain, Filsuf Inggris)
Konon, dunia pendidikan adalah dunia
yang penuh warna pengetahuan, hakiki hidup, dan pergolakan tanya akan
eksistensi diri manusia. Sejatinya, dunia pendidikan adalah tempat bertemunya
sumber pengetahuan dan esensi hidup dengan kerinduan manusia untuk bertanya
tentang dirinya. Socrates pernah
mengatakan bahwa hidup yang tidak dipertanyakan tidak pantas untuk dijalani.
Ketika manusia bertanya tentang makna dirinya dalam lingkaran kosmos, manusia
perlahan-lahan bertemu dengan kesadaran akan eksistensi dirinya.
Eksistensi
pendidikan sebagai basis yang memperkaya khazanah cipta, karsa, karya manusia
perlahan-lahan tergerus oleh kemajuan zaman. Kemajuan itu bermakna ganda. Di
satu sisi, kemajuan adalah buah dari pergolakan pengetahuan manusia yang
membawa banyak perubahan bagi dunia dan sisi lain, kemajuan menjadi bumerang
yang malah mengerdilkan esensi pengetahuan itu sendiri. Dunia pendidikan pun
tak luput dari dinamika perubahan yang tanpa pandang bulu menggilas siapa saja.
Perubahan-perubahan
dramatis dalam kemajuan itu turut mempengaruhi intelektual-intelektual muda
(mahasiswa) yang sedang mencari kebenaran dan eksistensi diri. Kemajuan, entah
media massa entah teknologi informasi yang masif berkembang turut menyumbang
pengerdilan esensi pengetahuan. Budaya instan tumbuh dan bersemi subur dalam
diri mahasiswa. Kemajuan dimanfaatkan untuk memupuk keengganan membedah
pengetahuan melalui proses yang panjang. Kemajuan dilihat sebagai fenomena yang
berorientasi hasil, bukan proses. Sebut saja,
plagiarisme dan kebiasaan copy/paste yang
menjadi tren tersendiri dalam keberadaan mahasiswa.
Plagiarisme
dalam dunia pendidikan merupakan fenomena tersendiri yang mengundang tanya dan
kecemasan. Pertanyaan mengacu pada keberadaan mahasiswa yang menghalalkan
segala cara untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Kecemasan tentunya berakar
pada rasa khawatir akan kerdilnya apresiasi pada pendidikan. Pendidikan bukan
lagi dianggap entitas yang memanusiakan manusia melainkan batu loncatan untuk mewujudkan
tujuan-tujuan tertentu. Begitu pula dengan kebiasaan copy/paste yang seolah-olah yang mengakar dalam diri mahasiswa.
Kekritisan mahasiswa menjadi tumpul dan berganti budaya instan yang tidak
terlalu memeras otak untuk berpikir. Hakikat pendidikan yang mengutamakan
proses tereduksi oleh kehadiran budaya instan mahasiswa. Integritas pun terkikis karena budaya instan membuat
moral dan sense of belonging mahasiswa
akan hakikat pengetahuan menjadi cerita sumbang yang tak lagi punya makna.
Manusia yang bergerak dalam pendidikan bukanlah manusia yang berorientasi hasil
tapi manusia yang mengedepankan proses. Dalam proses itu, nilai-nilai
fundamental pendidikan menjadi pilar absolut yang menuntun dan membimbing
manusia meraih tujuan pendidikan yang hakiki.
Budaya
instan adalah gejala nyata dalam realitas dunia yang semakin maju. Keberadaan
teknologi yang masif berkembang dalam masyarakat membuat mahasiswa terperangkap
dalam sekat-sekat kemuliaan diri dengan memanfaatkan jasa teknologi secara
tidak benar. Mentalitas instan yang didukung tawaran-tawaran menggiurkan dari
teknologi membuat mahasiswa pun rela menanggalkan jubah integritas dan hakikat
pendidikan.
Tak
bisa dinafikan bahwa mentalitas instan akademisi adalah cermin dari kerdilnya
pemahaman akan pendidikan yang berorientasi proses. Meminjam istilah Koentjaraningrat, mentalitas instan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya menerabas. Dalam budaya
menerabas, segala cara dihalalkan demi mencapai hasil yang diinginkan.
Keinginan untuk mencapai hasil dalam waktu yang singkat dengan menghalakan
segala cara seringkali membuat akal sehat tak bisa bekerja secara optimal.
Rasionalitas menjadi tumpul. Rasionalitas yang seharusnya menjadi tameng untuk
berdinamika dalam dunia pendidikan malah ditempatkan di urutan terakhir dari
pencapaian akademis.
Mentalitas
instan, budaya menerabas, kerdilnya apresiasi pada pendidikan merupakan gejala
laten yang harus diberantas demi perwujudan nilai-nilai dasar pendidikan yakni
memanusiakan manusia. Mahasiswa adalah agent
of change atau agen perubahan apabila hadir sebagai pribadi yang punya
kualitas, kritis, dan populis. Mahasiswa dengan budaya instan merupakan potret
buram pendidikan yang menodai esensi pendidikan.
Mentalitas
instan yang sudah mengakar membuai mahasiswa dengan orientasi-orientasi semu
dan tanpa fondasi yang kokoh. Eksistensi diri hanya berada pada balutan
performa dangkal dengan lebih mengedepankan kulit
luarnya daripada substansi atau kualitasnya. Dengan penampilan yang
gemerlap, mahasiswa hadir di kampus tanpa benar-benar ada dan berdinamika
dengan kehampaan. Kampus memang bukan satu-satunya rumah pengetahuan namun
kampus juga menyumbang kontradiksi-kontradiksi dalam mencari kebenaran hakiki.
Ketika kampus berubah fungsi menjadi mall
atau rumah singgah maka yang ada
hanyalah onggokan pengetahuan yang ditinggal penghuninya. Ketika kampus
melahirkan pribadi-pribadi plagiaris maka pengetahuan dan pendidikan pun berada
di titik nadir dan jauh dari nilai-nilai dasar pendidikan itu sendiri.
Lantas,
bagaimana insan pendidikan (kita) melihat fenomena yang mereduksi nilai-nilai
dasar pendidikan? Mungkin
ini bukan fenomena baru dalam dunia pendidikan. Mungkin ini realitas yang
terlupakan sehingga mentalitas atau budaya instan dianggap sah asalkan memenuhi target atau hasil. Bila ini adalah
narasinya maka sungguh malang negeri ini karena esensi pendidikan dan
pengetahuan berada di titik terbawah.
Oleh karena
itu, mempertanyakan kampus dengan habitus
mahasiswa yang mereduksi
nilai-nilai pendidikan dan pengetahuan merupakan keniscayaan. Alhasil, kita
mungkin bergumam ria, budaya instan mahasiswa, tanya kenapa ?
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !