Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat
merupakan masalah fundamental dan menuntut concern
masyarakat dunia karena efeknya yang bersifat global. Masalah ini berkembang
menjadi masalah pelik dan mempengaruhi stabilitas ekonomi global. Dalam konteks
dewasa ini, ketika hubungan perdagangan antarnegara nirjarak dan masifnya
aliran barang dan jasa, gejolak perekonomian suatu negara bisa dengan mudah
mempengaruhi perekonomian negara lain. Terganggunya aliran barang dan jasa bisa
membawa dampak pada lesunya perekonomian. Hal ini cukup beralasan karena hampir
semua negara menganut sistem perdagangan bebas (free trade system). Koneksi perdagangan antarnegara terjalin dengan
adanya perdagangan bebas sehingga aliran dana bisa bebas keluar masuk dari satu
negara ke negara lain. Sementara itu, setiap negara mempunyai kebijakan moneter
yang tidak sama maka resiko terkena dampak krisis sangat besar.
Kondisi
perekonomian yang lesu, bahkan bergerak negatif akibat krisis disebabkan oleh
fondasi ekonomi negara yang lemah. Kebijakan ekonomi atau finansial yang salah
kaprah merupakan salah satu indikator terjadinya krisis. Krisis yang terjadi di
Amerika Serikat yang berawal dari kredit perumahan adalah salah satu contoh
kebijakan ekonomi atau finansial yang salah kaprah.
Akar krisis finansial Amerika
Serikat
Sejak tahun
1925, di Amerika Serikat sudah ada Undang-undang Mortgage. Peraturan ini berkaitan dengan sektor properti, termasuk
kredit pemilikan rumah. Semua warga AS-asalkan memenuhi syarat tertentu-bisa
mendapatkan kemudahan kredit kepemilikan properti, seperti KPR. Kemudahan
pemberian kredit terjadi ketika harga properti di AS sedang naik. Kegairahan
pasar properti membuat spekulasi di
sektor ini meningkat. Para penyedia kredit properti memberikan suku bunga tetap
selama tiga tahun. Hal itu membuat banyak orang membeli rumah dan berharap bisa
menjual dalam tiga tahun sebelum suku bunga disesuaikan. Permasalahannya, banyak lembaga keuangan pemberi kredit properti
di Amerika Serikat menyalurkan kredit kepada penduduk yang sebenarnya tidak
layak mendapatkan pembiayaan. Mereka adalah orang dengan latar belakang non-income non-job non-activity (NINJA)
yang tidak mempunyai kekuatan ekonomi untuk menyelesaikan tanggungan kredit
yang mereka pinjam (Depkeu, Depkominfo, Bappenas: Memahami Krisis Keuangan Global: 2008).
Situasi
tersebut memicu terjadinya kredit macet di sektor properti (subprime mortgage). Selanjutnya, kredit
macet di sektor properti mengakibatkan efek domino ambruknya lembaga-lembaga
keuangan besar di Amerika Serikat. Pasalnya, lembaga pembiayaan sektor properti
pada umumnya meminjam dana jangka pendek dari pihak lain, termasuk lembaga
keuangan. Jaminan yang diberikan perusahaan pembiayaan kredit properti adalah
surat utang, mirip subprime mortgage
securities, yang dijual kepada lembaga-lembaga investasi dan investor di
berbagai negara. Padahal, surat utang itu ditopang oleh jaminan debitor yang
kemampuan membayar KPR-nya rendah. Dengan banyaknya tunggakan kredit properti,
perusahaan pembiayaan tidak bisa memenuhi kewajibannya kepada lembaga-lembaga keuangan,
baik bank investasi maupun asset
management. Hal itu mempengaruhi likuiditas pasar modal maupun sistem
perbankan. Setelah itu, terjadi pengeringan likuiditas lembaga-lembaga keuangan
akibat tidak memiliki dana aktiva untuk membayar kewajiban yang ada.
Ketidakmampuan bayar kewajiban tersebut membuat lembaga keuangan lain yang
memberikan pinjaman juga terancam bangkrut. Kondisi yang dihadapi
lembaga-lembaga keuangan besar di Amerika Serikat juga mempengaruhi likuiditas
lembaga keuangan lain, yang berasal dari Amerika Serikat maupun di luar Amerika
Serikat. Terutama lembaga yang menginvestasikan uangnya melalui instrumen
lembaga keuangan besar di Amerika Serikat. Di sinilah krisis keuangan global
bermula (Ibid).
Fenomena
ini menunjukkan bahwa krisis finansial yang berefek domino tersebut terjadi
akibat spekulasi serampangan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan
Amerika Serikat. Lembaga-lembaga keuangan tanpa selektif memberikan kredit dan
tidak mendapat jaminan pasti pengembalian kredit tersebut. Perusahaan pemberi
kredit perumahan semisal Fannie Mae & Freddie Mac bukanlah pemain baru
dalam urusan kredit rumah. Hanya saja pasar properti waktu itu sedang lesu,
ditambah spekulasi tanpa jaminan pasti membawa dampak signifikan bagi perusahaan
tersebut. Alhasil, tindakan berisiko ini juga menyeret lembaga-lembaga keuangan
lainnya semisal Lehman Brothers dan AIG yang membeli surat utangnya.
Dampak krisis bagi perekonomian
Dalam buku Memahami Krisis Keuangan Global,
dikatakan bahwa krisis finansial Amerika Serikat membawa dampak langsung dan
tidak langsung.
- Dampak langsung krisis keuangan Amerika Serikat
a) Kerugian
bagi bank berskala global, terutama di kawasan Amerika Serikat dan Eropa. Total
kerugian diperkirakan mendekati 1.000 miliar dollar AS. Perusahaan Merril Lynch
mencatat kerugian 52,2 miliar dollar AS, Citigroup 55,1 miliar dollar AS, UBS
AG 44,2 miliar dollar AS, HSBC 27,4 miliar dolalr AS.
b) Jatuhnya
lima lembaga keuangan terbesar, yaitu Bear Stearns, Lehman Brothers, Fannie Mae
dan Freddie Mac, serta AIG.
c) Skala
kerugian mencapai tiga kali lipat dari dampak kerugian krisis finansial di Asia
pada tahun 1997- 1998.
- Dampak tidak langsung
a) Perlambatan
pertumbuhan ekonomi yang signifikan di tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat
sebesar 2,0 persen di tahun 2007 menjadi 1,3 persen di tahun 2008. Sementara
itu, tingkat inflasi Amerika Serikat sebesar 2,9 persen pada tahun 2007
meningkat menjadi 4,0 persen di tahun 2008 (analisis The Fed).
b) Penurunan
permintaan impor akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Kondisi ini
mendorong penurunan harga komoditas global, sehingga menekan perekonomian
negara-negara berkembang terutama yang berbasis pada ekspor komoditas.
Contohnya, dua komoditi ekspor utama Indonesia yaitu CPO (crude palm oil) di Pasar Rotterdam mengalami penurunan harga dari
1,207 dollar AS per metrik ton di bulan Juni 2008, menjadi 705 dollar AS per
metrik ton di bulan September 2008. Sementara, batubara (coal) di Pasar US Spot Big Sandy juga mengalami penurunan harga
dari 133,5 dollar AS per short ton pada Juni 2008 menjadi 112,5 dollar AS per
short ton pada September 2008.
c) Dengan
indikasi penurunan volume maupun nilai ekspor, sementara laju impor belum dapat
diredam secara signifikan maka defisit perdagangan tak terhindarkan.
Dampak
krisis finansial Amerika Serikat meluas ke negara-negara lain karena adanya
koneksivitas perdagangan antarnegara (free
trade system). Efek perdagangan bebas yakni semakin mudahnya perekonomian
suatu negara terkena badai krisis apabila fundamental ekonomi atau finansialnya
tidak kokoh. Krisis finansial Amerika Serikat yang berdampak luas tersebut
merupakan salah satu contoh kebijakan salah kaprah sektor finansial, ketiadaan
perencanaan jangka panjang, aturan-aturan yang dilanggar, dan spekulasi yang
tidak bertanggung jawab.
Kebijakan pemerintah Amerika Serikat
mengatasi krisis finansial
Dampak
krisis finansial Amerika Serikat direspon dengan berbagai kebijakan antara lain (Memahami
Krisis Keuangan Global: 2008):
a) Memberikan
dana talangan (bailout) kepada
korporasi yang bangkrut sebesar 700 miliar dollar AS. Dana talangan ini
disediakan untuk menyelamatkan institusi keuangan dan perbankan demi mencegah
krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bailout dilakukan dalam bentuk pemerintah
membeli surat utang subprime mortgage
yang macet, yang dipegang oleh investor.
b) Bank
Sentral menurunkan suku bunga 0,5 persen menjadi 1,5 persen agar dana-dana
masyarakat tidak mengendap di bank dan bisa menggerakkan sektor riil.
c) Pemerintah
membeli surat berharga jangka pendek 900 miliar dollar AS. Bank Sentral Amerika
(Federal Reserve) mengumumkan rencana
radikal untuk menutup sejumlah besar utang jangka pendek yang bertujuan
menciptakan terobosan dalam kemacetan kredit yang mengakibatkan krisis finansial
global.
Kebijakan
ini diambil pada tahun 2008 untuk merespon krisis finansial yang berdampak
global. Ketika krisis finansial terjadi, Amerika Serikat berada di bawah
pemerintahan George W. Bush. Kebijakan Bush yang lebih mengedepankan pendekatan
militer dengan anggaran militer yang besar dan memberikan keistimewaan kepada
pengusaha dan korporat menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis finansial
Amerika Serikat. Pemerintahan Bush (Republik) dikenal dengan loyalitas mutlak
pada sistem pasar bebas. Pasar bergerak tanpa pengawasan sehingga efeknya
terasa ketika terjadi salah urus dalam kebijakan finansial.
Pasca
pemerintahan Bush, dengan berbagai gejolak krisis finansial, Amerika Serikat
pun dipimpin oleh kubu Demokrat, Barack Obama. Obama mewarisi krisis parah,
setelah great depression 1930, yang
dibuat pendahulunya. Obama lantas mengambil langkah penyelesaian krisis yang
berkembang makin parah dengan beberapa kebijakan:
a) Menggelontorkan
paket bantuan lebih dari 700 miliar dollar AS. Paket ini dimaksudkan untuk
menyelamatkan perekonomian Amerika Serikat, terutama warga kelas menengah ke
bawah.
b) Menjamin
adanya pengawasan yang ketat terhadap lembaga-lembaga keuangan. Selama ini para
direktur, manajer, dan pejabat lembaga-lembaga keuangan menikmati gaji dan bonus
yang besar, jet-jet dan kapal pesiar, dan hidup yang glamour.
c) Melakukan
penghematan di berbagai sektor dalam upaya mengatasi krisis namum tetap
mendorong investasi, yakni di sektor energi, asuransi kesehatan, dan
pendidikan.
d) Menaikkan
plafon utang negara dari 14,3 triliun dollar AS (2011) dimana sebelumnya berjumlah
10,6 triliun dollar AS sejak Obama memimpin pemerintahan (2009).
e) Mengadakan
kerjasama dengan negara maju lainnya dan negara anggota G-20 untuk mengembalikan
kepercayaan dalam sistem keuangan, menghindari kemungkinan terjadinya
proteksionisme dan meningkatkan permintaan dunia untuk produk Amerika Serikat.
Paket
bantuan senilai lebih dari miliar dollar merupakan upaya pemerintah untuk
menyegarkan kembali perekonomian yang lesu dan perlahan bergerak negatif karena
bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat. Obama juga ingin
menaikkan pajak bagi kelas atas dan orang-orang kaya Amerika Serikat namun
ditentang keras kubu Republik. Hal ini cukup beralasan karena para pengusaha
kaya terkenal dekat dengan kubu
Republik.
Berkaitan
dengan perbankan atau lembaga keuangan, Obama menjamin adanya pengawasan
terhadap kinerja dan profesionalitasnya. Pemberian kredit kepada nasabah harus
benar-benar tepat sasaran dan hanya nasabah yang layak, yang akan menerimanya. Pemberian
kredit kepada nasabah yang tidak layak, menuai krisis yang berkepanjangan.
Dalam
konteks kerjasama dengan negara-negara lain, Obama berupaya membangun kembali
kepercayaan terhadap lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat. Dalam sistem
moneter internasional, kepercayaan (confidence)
merupakan hal yang esensial (Robert Gilpin dan Jean Millis Gilpin: Tantangan Kapitalisme Global: Ekonomi Dunia
Abad 21: 2002). Lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat yang ambruk satu
per satu menandakan sistemnya salah urus. Dampaknya tidak hanya terjadi di
Amerika Serikat saja melainkan juga lintas negara sehingga banyak negara pun
meragukan kapabilitas lembaga-lembaga tersebut.
Paket
penyelamatan lainnya yakni dengan menaikkan plafon utang negara. Peningkatan
plafon utang negara dari 14,3 triliun dollar AS dimaksudkan untuk menghindari
gagal bayar. Utang Amerika Serikat pada tahun 2009 berjumlah 10,6 triliun
dollar AS. Namun langkah ini tidak mudah karena kubu Republik cenderung tidak
setuju. Kubu Republik setuju untuk menaikkan plafon utang apabila Obama
memangkas pengeluaran pemerintah. Pemangkasan pengeluaran ini pun mesti
dilakukan tanpa harus mengenakan pajak tambahan bagi orang-orang kaya dan
pengusaha Amerika Serikat. Ini adalah upaya melindungi kepentingan kelas
menengah atas yang menjadi partner kubu Republik.
Berbagai
upaya atau kebijakan yang digagas oleh Obama tak semuanya berjalan mulus. Kubu
Republik merupakan kelompok penentang yang selalu kritis terhadap kebijakan yang dibuat Obama. Tentunya kepentingan
politis tak terhindarkan. Tarik-menarik kepentingan berdampak pada kebijakan
yang dipakai untuk memulihkan krisis finansial Amerika Serikat.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !