Era
globalisasi sekarang menyajikan realitas dan hiperrealitas yang menuntut
kekritisan manusia. Konsep global village
atau kampung global-nya Anthony Giddens menjadi fenomena yang menarik untuk
dikritisi, mengingat bahwa globalisasi dengan berbagai embel-embelnya berupaya
menafikan perbedaan. Homogenisasi kultural merupakan satu contoh gamblang yang
menyiratkan tipisnya perbedaan atau batas-batas personal, kelompok, atau bahkan
negara. Homogenisasi kultural juga merupakan upaya penyatuan budaya dalam satu mainstream budaya yang dikultuskan warga
dunia. Contoh gamblang ini inheren dalam tubuh globalisasi itu sendiri.
Intelektual muda dengan rasionalitas
yang mendalam menjadi tulang punggung untuk melihat globalisasi secara objektif dan riil. Terpaan
globalisasi menjadi badai yang dahsyat dan mematikan apabila tidak dikritisi
dan dibedah secara mendetail. Globalisasi menuntut pembedahan yang akurat dan
valid. Intelektual muda mampu menjadi motor penggerak perubahan itu.
Dalam konteks perubahan itu, agent of change atau agen-agen perubahan
dapat menjadikan kampus sebagai arena untuk membangun kultur pendidikan yang
memanusiakan manusia. Melalui proses itu, para intelektual muda dapat
memanfaatkan sarana kampus untuk membuat pembaharuan atau menemukan formula
yang tepat untuk menumbuhkan habitus
intelektual yang kritis. Pergolakan zaman dengan tawaran-tawaran yang
menggiurkan tentunya selalu mengundang respon yang kadang irasional.
Intelektual muda yang rasional selalu mengatasnamakan akal sehat atau rasio
dalam menganalisis sesuatu. Pengetahuan yang mendalam membutuhkan analisis
rasional yang mendalam pula.
Oleh karena itu, eksistensi kampus
tetap signifikan terutama sebagai arena yang ideal bagi mahasiswa atau
intelektual-intelektual muda untuk mengembangkan dan memperkaya diri dengan
pengetahuan. Proses itu tidak muncul begitu saja atau given melainkan berjalan dalam tahap demi tahap yang menuntut
kesadaran kritis.
1.
Kampus sebagai wahana pendidikan
Kampus
adalah tempat belajar yang kreatif dan intelektual. Kampus dengan berbagai
fasilitasnya menyajikan pengetahuan yang mendalam apabila digali dengan penuh
ketekunan. Kampus menjadi tempat yang nyaman untuk menggali dan membedah
pengetahuan. Dalam kampus, pengetahuan mendapat perhatian yang kritis dan
rasional. Pengetahuan yang inheren dalam proses pendidikan memang menjadi tolok
ukur dalam memperdalam atau mengasah rasionalitas manusia.
Pendidikan
adalah suatu proses yang terprogram untuk mengefektifkan terjadinya perubahan
kognitif dan afektif dalam diri seseorang sedemikian rupa sehingga dapat
berfungsi dengan baik di dalam kehidupan masyarakatnya. Adapun perubahan (lewat
proses pendidikan) yang dimaksudkan di sini adalah perubahan yang tersimak
dalam wujud bertambahnya pengetahuan dan kesadaran serta kepekaan seseorang
akan hak-haknya yang asasi dan hak-hak sesama warga dan/atau sesama manusia
yang ditemui dalam kehidupan ini.[1]
Melalui
proses pendidikan yang memadai maka manusia secara perlahan membangun kesadaran
dan kepekaan dalam mengamati perilaku sosial atau fenomena sosial. Pendidikan
dalam konteks ini adalah pendidikan yang memanusiakan manusia dan mampu
mencetak pribadi-pribadi yang mempunyai kepedulian terhadap sesama dan
lingkungan. Pendidikan bukan proses mencetak manusia menjadi hamba kekuasaan atau mendiktenya
sehingga mengikuti kehendak pendikte. Pendidikan adalah realitas yang harus
digarap dengan penuh perhatian dan ketekunan.
Kampus
adalah ladang yang tepat untuk menyemaikan benih-benih pendidikan meskipun kita
tahu bahwa kampus bukan satu-satunya tempat dimana proses pendidikan bisa
tumbuh dan berkembang. Dalam konteks ini, kampus bisa tampil sebagai organ yang
mampu membangun habitus intelektual
dan kreatif. Dalam kampus, pribadi-pribidi yang concern terhadap pengetahuan dapat berdialektika dan menemukan
kebenaran. Kebenaran bisa dicapai apabila ada kontradiksi kritis yang selalu
dipertentangkan dalam semangat ilmiah.
Dalam
realitasnya kita mengetahui bahwa kampus memang belum sepenuhnya menjadi tempat
yang dominan dalam mencari dan mempertentangkan ilmu pengetahuan. Kampus belum
menjadi basis yang memperkaya pengetahuan. Perubahan zaman dengan
tawaran-tawaran yang menarik telah membuat perhatian mahasiswa menjadi terbagi.
Mahasiswa belum sepenuhnya sadar dan kritis akan hal itu.
Selama
ini kampus mengalami krisis perhatian. Mahasiswa belum sadar bahwa kampus
adalah wahana pendidikan. Kampus yang sebenarnya tempat memanusiakan manusia,
malah berubah fungsi menjadi ajang pembuktian ke-eksis-an diri mahasiswa. Mahasiswa terjebak dalam kompetisi
sempit pembuktian diri yang malah memarginalkan pengetahuan. Hal yang muncul
adalah kulit luar dari pribadi itu sendiri. Belum lagi kalau kita melihat bahwa
masih banyaknya fenomena plagiarisme atau copy/paste
dalam proses pendidikan itu.
Plagiarisme
dan penyalahgunaan kampus sebagai tempat pembuktian diri membuat kampus tidak
lagi hadir sebagai pembawa perubahan dan menghasilkan agent of change bagi masyarakat. Kampus tidak lagi hadir dengan mahasiswa
yang mempunyai watak intelektual.
Watak
intelektual mencakup :
1) adanya keinginan untuk
mengetahui fakta-fakta penting dan keengganan untuk menyetujui ilusi-ilusi
menyenangkan,
2) menjunjung tinggi
keterbukaan. Ilmu pengetahuan selalu didasarkan pada pengamatan.
Pernyataan-pernyataan tidak pasti benar melainkan hanya mengklaim probabilitas
berdasarkan bukti yang ada sampai sekarang. Tidak ada kepastian subjektif yang
menyesatkan dalam ilmu pengetahuan.[2]
Ketiadaan watak intelektual membuat manusia menjadi
pribadi yang gersang akan pengetahuan. Pengetahuan tidak lagi menjadi credo yang mampu membawa perubahan.
Pengetahuan menjadi terpinggirkan karena mahasiswa tidak mampu menjadikan
kampus, yang merupakan salah satu basis pengetahuan, secara baik dan benar.
Kampus hanya menjadi rumah singgah
yang tidak terlalu diperhatikan keberadaannya. Kampus tidak lagi hadir sebagai
wahana pendidikan yang menyajikan realitas dan hiperrealitas untuk dikritisi
dan dibedah secara mendalam.
2.
Kampus sebagai basis
kreativitas dan intelektualitas
Kreativitas dan intelektualitas merupakan dua entitas yang
menjadi basis mahasiswa dalam merambah hutan pengetahuan. Mahasiswa yang
kreatif adalah mahasiswa yang sadar akan eksistensinya dan mau berinovasi.
Mahasiswa yang intelek adalah mahasiswa yang kritis dalam menyikapi
fenomena-fenomena yang ada dan menganalisisnya secara mendalam.
Aspek-aspek
kreativitas antara lain :
1)
Memiliki daya imajinasi yang kuat
2)
Memiliki banyak inisiatif
3)
Memiliki energi besar
4)
Orientasi jangka panjang
5)
Memiliki sikap tegas
6)
Memiliki minat luas
7)
Mempunyai sifat ingin tahu
8)
Berani mengambil resiko
9)
Berani berpendapat
10) Memiliki rasa percaya diri[3]
Aspek-aspek kreativitas di atas merupakan basis
mahasiswa untuk mengembangkan diri. Dengan kata lain, mahasiswa yang kreatif
adalah mahasiswa yang mau memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya dan berguna
bagi orang lain. Pengerahan sumber daya manusia yang all out untuk menciptakan atau menghasilkan ide-ide kreatif serta
mengasah kreativitas merupakan kunci meraih sukses.
Sebagai basis intelektual, kampus juga menghadirkan
suasana akademis yang mampu melecut semangat mahasiswa untuk senantiasa
berdialektika. Dinamika pengetahuan menuntut pemahaman komprehensif mengenai
hakikat pendidikan. Pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang
menjadikan manusia (mahasiswa) sebagai subjek dan objek pendidikan, bukan
sebagai objek semata. Di sini, kampus hadir dan berdialektika. Mahasiswa harus
mampu kritis dan kreatif.
3.
Kampus sebagai tempat
mewujudkan semangat disiplin, kejuangan, dan kreativitas
Semangat disiplin, kejuangan, dan kreativitas merupakan
elemen utama yang harus diamalkan mahasiswa. Semangat ini menjadi basis
rasional yang menjadi panduan mahasiswa dalam mencari dan membedah pengetahuan.
a. Disiplin
Disiplin
adalah kunci untuk mendalami pengetahuan. Disiplin dalam konteks ini mengacu
pada sikap dan tindakan untuk mematuhi tata tertib atau aturan yang ada.
Disiplin bisa dilaksanakan dari hal-hal yang kecil sampai dengan hal-hal yang
besar.
Ada
beberapa hal yang berkaitan dengan disiplin ini misalnya ketepatan waktu untuk
masuk kuliah, mematuhi aturan untuk mengikuti ujian (memakai pakaian rapi,
bukan kaos oblong atau sandal), mengumpulkan tugas tepat pada waktunya dan
masih banyak lagi konkritisasi disiplin yang harus dijalankan mahasiswa dalam
kehidupan kampus.
Selama
ini mahasiswa telah menjalani aturan dengan punishment
dan reward yang memadai misalnya
mahasiswa yang tidak mengumpulkan tugas sesuai waktu yang ditentukan, tidak
akan mendapatkan nilai atau dikenakan pinalti nilai 10-20 % (punishment) dan mahasiswa yang tekun dan
aktif berbicara di kelas, mendapat nilai lebih atau nilai keaktifan di kelas (reward). Konsep punishment dan reward bukan
menunjukkan bahwa hak-hak mahasiswa tidak dipenuhi namun mahasiswa perlu
belajar untuk berdisiplin dari hal-hal yang kecil sekalipun.
Namun
pada dasarnya disiplin dalam kehidupan kampus bukan hanya melibatkan mahasiswa
melainkan juga dosen atau pihak-pihak lain. Dalam konteks ini, konsep punishment dan reward sejatinya diterapkan sejajar sehingga tidak ada ketimpangan.
Dalam arti bahwa mahasiswa harus melakukan kewajiban-kewajibannya dan pihak
kampus terutama dosen harus memenuhi hak-hak mahasiswa untuk mendapatkan
pengetahuan. Disiplin atau aturan bukan hanya milik mahasiswa melainkan semua
elemen kampus sehingga aturan yang ada bisa dijalani secara kritis. Dengan itu,
kehidupan kampus yang dinamis dapat diwujudkan dan keberadaan kampus sebagai
arena pengetahuan mendapat apresiasi yang layak.
b. Kejuangan
Nilai-nilai
kejuangan mencakup semangat yang bernyala-nyala untuk menuntut ilmu dan
mengabdikan ilmu tersebut kepada masyarakat. Semangat kejuangan merupakan
bagian dari semangat riil yang harus dimiliki mahasiswa dalam menuntut ilmu di
kampus.
Dalam
realitasnya, semangat ini mulai memudar dengan semakin banyaknya tawaran instan
yang membuat mahasiswa semakin lupa akan substansi pengetahuan. Contoh konkit
penerapan semangat kejuangan dalam lingkup kampus misalnya membedah dan
menganalisis suatu persoalan atau kasus. Budaya instan seringkali membuat
kemampuan analisis mahasiswa menjadi tumpul dan tidak terasah. Mahasiswa lebih
suka memanfaatkan jasa teknologi melalui program
cepat saji atau copy/paste
daripada menganalisis suatu masalah secara mendalam. Kekritisan mahasiswa
menjadi luntur dan berganti budaya instan yang mementingkan hasil daripada
proses.
c. Kreativitas
Kreativitas
berkaitan dengan inovasi, imajinasi, dan percaya diri. Mahasiswa yang kreatif
adalah mahasiswa yang tahu dan sadar akan potensi yang dimiliki dan
memanfaatkan sarana dan prasarana untuk mencoba hal-hal baru. Hal-hal baru
dalam konteks ini artinya mengubah atau membuat hal-hal lama menjadi lebih
menarik sehingga banyak diminati.
Kreativitas
mahasiswa bisa disalurkan dalam bentuk penelitian. Konkritisasi kreativitas
mahasiswa dalam penelitian misalnya pengamatan atau penelitian mengenai minat
mahasiswa mengunjungi perpustakaan. Mungkin saja keberadaan dan fungsi
perpusatakaan kemudian memudar karena adanya kemajuan teknologi informasi. Hal
ini bisa menjadi ilustrasi kreativitas mahasiswa untuk menyalurkan bakat dan
potensi yang dimiliki dengan cara melakukan penelitian. Mahasiswa juga bisa
membuat penelitian yang berdampak luas bagi masyarakat misalnya mengenai dampak
liberalisasi perdagangan terhadap keberadaan batik.
Kreativitas
dan inovasi dalam dunia pengetahuan merupakan
elemen yang memperkaya pengetahuan itu sendiri. Dengan kreativitas yang
memadai, mahasiswa mampu belajar untuk terus-menerus mengembangkan diri menjadi
pribadi yang utuh, mempunyai daya juang, dan cepat menemukan solusi bagi setiap
permasalahan yang ada.
4. Kampus sebagai bagian dari tridharma perguruan
tinggi
Tridharma
perguruan tinggi : pendidikan, penelitian, dan pengabdian merupakan entitas
yang menjadi bagian integral dari kehidupan kampus, khususnya mahasiswa yang
berperan sebagai subjek dan objek pendidikan.
a. Pendidikan
Pendidikan
mempunyai hakikat yang harus menjadi pakem
bagi setiap insan yang bergulat di dunia pendidikan yakni memanusiakan manusia.
Pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang membebaskan. Konsep
pendidikan yang seperti inilah yang harus diadopsi oleh kampus, sebagai arena
memerdekakan pribadi dari rutinitas formal yang membelenggu mahasiswa sehingga
mahasiswa mampu menjalani aturan dengan penuh kesadaran.
Proses
pembebasan ini melibatkan arkeologi kesadaran sehingga manusia (mahasiswa)
secara alamiah dapat membangun kesadaran baru yang sanggup merasakan keberadaan
dirinya.[4]
Dalam konteks ini, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang
benar-benar, secara riil, menjadikan mahasiswa subjek dan objek pengetahuan. Pendidikan
harus mampu hadir sebagai elemen yang membebaskan sehingga prosesnya bisa berjalan
dengan baik. Kampus yang merupakan wadah ideal, di samping sarana pembelajaran
lain di luar kampus, harus dapat memberikan kontribusi positif bagi mahasiswa.
Selama ini kampus belum sepenuhnya menjadi kampus intelektual. Kegiatan diskusi
di luar kelas atau halaman-halaman kampus belum sepenuhnya berjalan. Mahasiswa
hanya ada dan hadir di kampus untuk memenuhi target formalitas belaka yakni
mengikuti kuliah dan nongkrong di
kantin. Kampus sebagai tempat pertarungan ide, gagasan, argumentasi sangat jauh
dari yang diharapkan.
Oleh
karena itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan semangat
intelektual yakni :
1)
Membentuk kelompok-kelompok diskusi yang secara
kontinyu memanfaatkan ruang-ruang yang ada di kampus untuk berdiskusi atau
membahas dan menganalisis suatu persoalan. Dalam konteks ini, dosen mempunyai
peranan yang besar sebagai fasilitatornya.
2)
Mengadakan kegiatan akademis misalnya seminar atau
diskusi publik secara kontinyu sehingga mahasiswa mampu mengungkapkan ide atau
gagasan dengan kritis dan lebih berani untuk menyampaikannya di hadapan publik.
b. Penelitian
Penelitian
merupakan elemen yang penting. Penelitian memberikan kontribusi bagi mahasiswa
untuk lebih mendalami pengetahuan yang didapatnya. Penelitian adalah bagian
dari kreativitas mahasiswa dalam mendesain pengetahuannya.
Selama
ini kampus telah mengakomodasi berbagai penelitian misalnya yang menjadi
program dikti antara lain PKM
Penelitian (PKM-P), PKM-Penerapan Teknologi (PKM-T), PKM-Kewirausahaan (PKM-K),
PKM-Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-M), PKM-Artikel
Ilmiah (PKM-AI),dan PKM-Gagasan Tertulis (PKM-GT). PKM atau Program Kreativitas
Mahasiswa merupakan program yang sangat baik untuk mendidik mahasiswa menemukan
medan sesungguhnya dalam proses penerapan ilmu pengetahuan yang telah
dimilikinya. Program dikti ini harus juga diimbangi dengan kemandirian kampus.
Dalam arti bahwa kampus juga harus secara kontinyu mengadakan program
kreativitas mahasiswa yang dapat mengakomodasi minat mahasiswa dalam bidang
penelitian.
c. Pengabdian
Pengabdian
kepada masyarakat juga menjadi bagian integral yang harus dilakukan oleh
mahasiswa. Program magang atau KKN (Kuliah Kerja Nyata) bisa menjadi contoh
konkrit pelaksanaan aksi pengabdian kepada masyarakat. Dengan pengabdian ini,
mahasiswa dilatih untuk responsif terhadap persoalan-persoalan yang ada di
masyarakat.
Program
ini harus tetap berjalan sehingga konsep pendidikan yang memanusiakan manusia
benar-benar menemukan arenanya. Mahasiswa bisa menjadi agent of change dalam masyarakat dengan pembaharuan-pembaharuannya.
Praxis pendidikan menuntut pengabdian ilmu pengetahuan yang tulus kepada
masyarakat.
Akhirnya,
membangun habitus kampus yang kreatif
dan intelektualis harus menjadi jargon bersama. Kebiasaan atau habitus kampus yang kreatif dan
intelektualis menjadikan kampus ini sebagai arena belajar yang membebaskan,
yang kritis, analitif, dan mampu memenuhi kedahagaan pengetahuan mahasiswa
serta berguna bagi masyarakat secara keseluruhan.
Referensi
Feire,
Paolo,”Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan,” Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1999.
Keraf, A
Sonny dan Mikhael Dua, “Ilmu Pengetahuan : Sebuah Tinjaun Filosofis,” Kanisius,
Yogyakarta, 2001.
Malian, Sabirin dan Suparman Marzuki, “Pendidikan
Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia,” UII Press, Yogyakarta, 2003.
Supranto,”Kewimayaan : Peran Dosen dalam Meningkatkan Kreativitas Mahasiswa,” Majalah
Wimaya, Tahun XXIII, No. 39, Juli 2006.
[1]Sabirin
Malian dan Suparman Marzuki, “Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi
Manusia,” UII Press, Yogyakarta, 2003, hal. 1.
[2]A
Sonny Keraf dan Mikhael Dua, “Ilmu Pengetahuan : Sebuah Tinjaun Filosofis,”
Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal. 139-140.
[3]Supranto,”Kewimayaan
: Peran Dosen dalam Meningkatkan Kreativitas Mahasiswa,” Majalah Wimaya,
Tahun XXIII, No. 39, Juli 2006, hal. 2-3.
[4]Paolo
Feire,”Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan,” Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1999, hal. 194.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !