MEMBANGUN HABITUS KAMPUS YANG KREATIF DAN INTELEKTUALIS - Aris Ceme Nuwa
Headlines News :
Home » » MEMBANGUN HABITUS KAMPUS YANG KREATIF DAN INTELEKTUALIS

MEMBANGUN HABITUS KAMPUS YANG KREATIF DAN INTELEKTUALIS

Written By ariscemenuwa on Jumat, 18 Mei 2012 | 06.56

Era globalisasi sekarang menyajikan realitas dan hiperrealitas yang menuntut kekritisan manusia. Konsep global village atau kampung global-nya Anthony Giddens menjadi fenomena yang menarik untuk dikritisi, mengingat bahwa globalisasi dengan berbagai embel-embelnya berupaya menafikan perbedaan. Homogenisasi kultural merupakan satu contoh gamblang yang menyiratkan tipisnya perbedaan atau batas-batas personal, kelompok, atau bahkan negara. Homogenisasi kultural juga merupakan upaya penyatuan budaya dalam satu mainstream budaya yang dikultuskan warga dunia. Contoh gamblang ini inheren dalam tubuh globalisasi itu sendiri.
            Intelektual muda dengan rasionalitas yang mendalam menjadi tulang punggung untuk melihat globalisasi secara objektif dan riil. Terpaan globalisasi menjadi badai yang dahsyat dan mematikan apabila tidak dikritisi dan dibedah secara mendetail. Globalisasi menuntut pembedahan yang akurat dan valid. Intelektual muda mampu menjadi motor penggerak perubahan itu.
            Dalam konteks perubahan itu, agent of change atau agen-agen perubahan dapat menjadikan kampus sebagai arena untuk membangun kultur pendidikan yang memanusiakan manusia. Melalui proses itu, para intelektual muda dapat memanfaatkan sarana kampus untuk membuat pembaharuan atau menemukan formula yang tepat untuk menumbuhkan habitus intelektual yang kritis. Pergolakan zaman dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan tentunya selalu mengundang respon yang kadang irasional. Intelektual muda yang rasional selalu mengatasnamakan akal sehat atau rasio dalam menganalisis sesuatu. Pengetahuan yang mendalam membutuhkan analisis rasional yang mendalam pula.
            Oleh karena itu, eksistensi kampus tetap signifikan terutama sebagai arena yang ideal bagi mahasiswa atau intelektual-intelektual muda untuk mengembangkan dan memperkaya diri dengan pengetahuan. Proses itu tidak muncul begitu saja atau given melainkan berjalan dalam tahap demi tahap yang menuntut kesadaran kritis.

1.      Kampus sebagai wahana pendidikan
            Kampus adalah tempat belajar yang kreatif dan intelektual. Kampus dengan berbagai fasilitasnya menyajikan pengetahuan yang mendalam apabila digali dengan penuh ketekunan. Kampus menjadi tempat yang nyaman untuk menggali dan membedah pengetahuan. Dalam kampus, pengetahuan mendapat perhatian yang kritis dan rasional. Pengetahuan yang inheren dalam proses pendidikan memang menjadi tolok ukur dalam memperdalam atau mengasah rasionalitas manusia.
            Pendidikan adalah suatu proses yang terprogram untuk mengefektifkan terjadinya perubahan kognitif dan afektif dalam diri seseorang sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi dengan baik di dalam kehidupan masyarakatnya. Adapun perubahan (lewat proses pendidikan) yang dimaksudkan di sini adalah perubahan yang tersimak dalam wujud bertambahnya pengetahuan dan kesadaran serta kepekaan seseorang akan hak-haknya yang asasi dan hak-hak sesama warga dan/atau sesama manusia yang ditemui dalam kehidupan ini.[1]
            Melalui proses pendidikan yang memadai maka manusia secara perlahan membangun kesadaran dan kepekaan dalam mengamati perilaku sosial atau fenomena sosial. Pendidikan dalam konteks ini adalah pendidikan yang memanusiakan manusia dan mampu mencetak pribadi-pribadi yang mempunyai kepedulian terhadap sesama dan lingkungan. Pendidikan bukan proses mencetak manusia menjadi hamba kekuasaan atau mendiktenya sehingga mengikuti kehendak pendikte. Pendidikan adalah realitas yang harus digarap dengan penuh perhatian dan ketekunan.
            Kampus adalah ladang yang tepat untuk menyemaikan benih-benih pendidikan meskipun kita tahu bahwa kampus bukan satu-satunya tempat dimana proses pendidikan bisa tumbuh dan berkembang. Dalam konteks ini, kampus bisa tampil sebagai organ yang mampu membangun habitus intelektual dan kreatif. Dalam kampus, pribadi-pribidi yang concern terhadap pengetahuan dapat berdialektika dan menemukan kebenaran. Kebenaran bisa dicapai apabila ada kontradiksi kritis yang selalu dipertentangkan dalam semangat ilmiah.
            Dalam realitasnya kita mengetahui bahwa kampus memang belum sepenuhnya menjadi tempat yang dominan dalam mencari dan mempertentangkan ilmu pengetahuan. Kampus belum menjadi basis yang memperkaya pengetahuan. Perubahan zaman dengan tawaran-tawaran yang menarik telah membuat perhatian mahasiswa menjadi terbagi. Mahasiswa belum sepenuhnya sadar dan kritis akan hal itu.
            Selama ini kampus mengalami krisis perhatian. Mahasiswa belum sadar bahwa kampus adalah wahana pendidikan. Kampus yang sebenarnya tempat memanusiakan manusia, malah berubah fungsi menjadi ajang pembuktian ke-eksis-an diri mahasiswa. Mahasiswa terjebak dalam kompetisi sempit pembuktian diri yang malah memarginalkan pengetahuan. Hal yang muncul adalah kulit luar dari pribadi itu sendiri. Belum lagi kalau kita melihat bahwa masih banyaknya fenomena plagiarisme atau copy/paste dalam proses pendidikan itu.
            Plagiarisme dan penyalahgunaan kampus sebagai tempat pembuktian diri membuat kampus tidak lagi hadir sebagai pembawa perubahan dan menghasilkan agent of change bagi masyarakat. Kampus tidak lagi hadir dengan mahasiswa yang mempunyai watak intelektual.
            Watak intelektual mencakup :
1)      adanya keinginan untuk mengetahui fakta-fakta penting dan keengganan untuk menyetujui ilusi-ilusi menyenangkan,
2)      menjunjung tinggi keterbukaan. Ilmu pengetahuan selalu didasarkan pada pengamatan. Pernyataan-pernyataan tidak pasti benar melainkan hanya mengklaim probabilitas berdasarkan bukti yang ada sampai sekarang. Tidak ada kepastian subjektif yang menyesatkan dalam ilmu pengetahuan.[2]
Ketiadaan watak intelektual membuat manusia menjadi pribadi yang gersang akan pengetahuan. Pengetahuan tidak lagi menjadi credo yang mampu membawa perubahan. Pengetahuan menjadi terpinggirkan karena mahasiswa tidak mampu menjadikan kampus, yang merupakan salah satu basis pengetahuan, secara baik dan benar. Kampus hanya menjadi rumah singgah yang tidak terlalu diperhatikan keberadaannya. Kampus tidak lagi hadir sebagai wahana pendidikan yang menyajikan realitas dan hiperrealitas untuk dikritisi dan dibedah secara mendalam.

2.      Kampus sebagai basis kreativitas dan intelektualitas
            Kreativitas dan intelektualitas merupakan dua entitas yang menjadi basis mahasiswa dalam merambah hutan pengetahuan. Mahasiswa yang kreatif adalah mahasiswa yang sadar akan eksistensinya dan mau berinovasi. Mahasiswa yang intelek adalah mahasiswa yang kritis dalam menyikapi fenomena-fenomena yang ada dan menganalisisnya secara mendalam.
            Aspek-aspek kreativitas antara lain :
1)      Memiliki daya imajinasi yang kuat
2)      Memiliki banyak inisiatif
3)      Memiliki energi besar
4)      Orientasi jangka panjang
5)      Memiliki sikap tegas
6)      Memiliki minat luas
7)      Mempunyai sifat ingin tahu
8)      Berani mengambil resiko
9)      Berani berpendapat
10)  Memiliki rasa percaya diri[3]
Aspek-aspek kreativitas di atas merupakan basis mahasiswa untuk mengembangkan diri. Dengan kata lain, mahasiswa yang kreatif adalah mahasiswa yang mau memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya dan berguna bagi orang lain. Pengerahan sumber daya manusia yang all out untuk menciptakan atau menghasilkan ide-ide kreatif serta mengasah kreativitas merupakan kunci meraih sukses.
            Sebagai basis intelektual, kampus juga menghadirkan suasana akademis yang mampu melecut semangat mahasiswa untuk senantiasa berdialektika. Dinamika pengetahuan menuntut pemahaman komprehensif mengenai hakikat pendidikan. Pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang menjadikan manusia (mahasiswa) sebagai subjek dan objek pendidikan, bukan sebagai objek semata. Di sini, kampus hadir dan berdialektika. Mahasiswa harus mampu kritis dan kreatif.

3.      Kampus sebagai tempat mewujudkan semangat disiplin, kejuangan, dan kreativitas
            Semangat disiplin, kejuangan, dan kreativitas merupakan elemen utama yang harus diamalkan mahasiswa. Semangat ini menjadi basis rasional yang menjadi panduan mahasiswa dalam mencari dan membedah pengetahuan.

a.      Disiplin
            Disiplin adalah kunci untuk mendalami pengetahuan. Disiplin dalam konteks ini mengacu pada sikap dan tindakan untuk mematuhi tata tertib atau aturan yang ada. Disiplin bisa dilaksanakan dari hal-hal yang kecil sampai dengan hal-hal yang besar.
            Ada beberapa hal yang berkaitan dengan disiplin ini misalnya ketepatan waktu untuk masuk kuliah, mematuhi aturan untuk mengikuti ujian (memakai pakaian rapi, bukan kaos oblong atau sandal), mengumpulkan tugas tepat pada waktunya dan masih banyak lagi konkritisasi disiplin yang harus dijalankan mahasiswa dalam kehidupan kampus.
            Selama ini mahasiswa telah menjalani aturan dengan punishment dan reward yang memadai misalnya mahasiswa yang tidak mengumpulkan tugas sesuai waktu yang ditentukan, tidak akan mendapatkan nilai atau dikenakan pinalti nilai 10-20 % (punishment) dan mahasiswa yang tekun dan aktif berbicara di kelas, mendapat nilai lebih atau nilai keaktifan di kelas (reward). Konsep punishment dan reward bukan menunjukkan bahwa hak-hak mahasiswa tidak dipenuhi namun mahasiswa perlu belajar untuk berdisiplin dari hal-hal yang kecil sekalipun.
            Namun pada dasarnya disiplin dalam kehidupan kampus bukan hanya melibatkan mahasiswa melainkan juga dosen atau pihak-pihak lain. Dalam konteks ini, konsep punishment dan reward sejatinya diterapkan sejajar sehingga tidak ada ketimpangan. Dalam arti bahwa mahasiswa harus melakukan kewajiban-kewajibannya dan pihak kampus terutama dosen harus memenuhi hak-hak mahasiswa untuk mendapatkan pengetahuan. Disiplin atau aturan bukan hanya milik mahasiswa melainkan semua elemen kampus sehingga aturan yang ada bisa dijalani secara kritis. Dengan itu, kehidupan kampus yang dinamis dapat diwujudkan dan keberadaan kampus sebagai arena pengetahuan mendapat apresiasi yang layak.

b.      Kejuangan
            Nilai-nilai kejuangan mencakup semangat yang bernyala-nyala untuk menuntut ilmu dan mengabdikan ilmu tersebut kepada masyarakat. Semangat kejuangan merupakan bagian dari semangat riil yang harus dimiliki mahasiswa dalam menuntut ilmu di kampus.
            Dalam realitasnya, semangat ini mulai memudar dengan semakin banyaknya tawaran instan yang membuat mahasiswa semakin lupa akan substansi pengetahuan. Contoh konkit penerapan semangat kejuangan dalam lingkup kampus misalnya membedah dan menganalisis suatu persoalan atau kasus. Budaya instan seringkali membuat kemampuan analisis mahasiswa menjadi tumpul dan tidak terasah. Mahasiswa lebih suka memanfaatkan jasa teknologi melalui program cepat saji atau copy/paste daripada menganalisis suatu masalah secara mendalam. Kekritisan mahasiswa menjadi luntur dan berganti budaya instan yang mementingkan hasil daripada proses.

c.       Kreativitas
            Kreativitas berkaitan dengan inovasi, imajinasi, dan percaya diri. Mahasiswa yang kreatif adalah mahasiswa yang tahu dan sadar akan potensi yang dimiliki dan memanfaatkan sarana dan prasarana untuk mencoba hal-hal baru. Hal-hal baru dalam konteks ini artinya mengubah atau membuat hal-hal lama menjadi lebih menarik sehingga banyak diminati.
            Kreativitas mahasiswa bisa disalurkan dalam bentuk penelitian. Konkritisasi kreativitas mahasiswa dalam penelitian misalnya pengamatan atau penelitian mengenai minat mahasiswa mengunjungi perpustakaan. Mungkin saja keberadaan dan fungsi perpusatakaan kemudian memudar karena adanya kemajuan teknologi informasi. Hal ini bisa menjadi ilustrasi kreativitas mahasiswa untuk menyalurkan bakat dan potensi yang dimiliki dengan cara melakukan penelitian. Mahasiswa juga bisa membuat penelitian yang berdampak luas bagi masyarakat misalnya mengenai dampak liberalisasi perdagangan terhadap keberadaan batik.
            Kreativitas dan inovasi dalam dunia pengetahuan merupakan  elemen yang memperkaya pengetahuan itu sendiri. Dengan kreativitas yang memadai, mahasiswa mampu belajar untuk terus-menerus mengembangkan diri menjadi pribadi yang utuh, mempunyai daya juang, dan cepat menemukan solusi bagi setiap permasalahan yang ada.

4.      Kampus sebagai bagian dari tridharma perguruan tinggi
            Tridharma perguruan tinggi : pendidikan, penelitian, dan pengabdian merupakan entitas yang menjadi bagian integral dari kehidupan kampus, khususnya mahasiswa yang berperan sebagai subjek dan objek pendidikan.

a.      Pendidikan
            Pendidikan mempunyai hakikat yang harus menjadi pakem bagi setiap insan yang bergulat di dunia pendidikan yakni memanusiakan manusia. Pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang membebaskan. Konsep pendidikan yang seperti inilah yang harus diadopsi oleh kampus, sebagai arena memerdekakan pribadi dari rutinitas formal yang membelenggu mahasiswa sehingga mahasiswa mampu menjalani aturan dengan penuh kesadaran.
            Proses pembebasan ini melibatkan arkeologi kesadaran sehingga manusia (mahasiswa) secara alamiah dapat membangun kesadaran baru yang sanggup merasakan keberadaan dirinya.[4] Dalam konteks ini, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang benar-benar, secara riil, menjadikan mahasiswa subjek dan objek pengetahuan. Pendidikan harus mampu hadir sebagai elemen yang membebaskan sehingga prosesnya bisa berjalan dengan baik. Kampus yang merupakan wadah ideal, di samping sarana pembelajaran lain di luar kampus, harus dapat memberikan kontribusi positif bagi mahasiswa. Selama ini kampus belum sepenuhnya menjadi kampus intelektual. Kegiatan diskusi di luar kelas atau halaman-halaman kampus belum sepenuhnya berjalan. Mahasiswa hanya ada dan hadir di kampus untuk memenuhi target formalitas belaka yakni mengikuti kuliah dan nongkrong di kantin. Kampus sebagai tempat pertarungan ide, gagasan, argumentasi sangat jauh dari yang diharapkan.
            Oleh karena itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan semangat intelektual yakni :
1)      Membentuk kelompok-kelompok diskusi yang secara kontinyu memanfaatkan ruang-ruang yang ada di kampus untuk berdiskusi atau membahas dan menganalisis suatu persoalan. Dalam konteks ini, dosen mempunyai peranan yang besar sebagai fasilitatornya.
2)      Mengadakan kegiatan akademis misalnya seminar atau diskusi publik secara kontinyu sehingga mahasiswa mampu mengungkapkan ide atau gagasan dengan kritis dan lebih berani untuk menyampaikannya di hadapan publik.

b.      Penelitian
            Penelitian merupakan elemen yang penting. Penelitian memberikan kontribusi bagi mahasiswa untuk lebih mendalami pengetahuan yang didapatnya. Penelitian adalah bagian dari kreativitas mahasiswa dalam mendesain pengetahuannya.
            Selama ini kampus telah mengakomodasi berbagai penelitian misalnya yang menjadi program dikti antara lain PKM Penelitian (PKM-P), PKM-Penerapan Teknologi (PKM-T), PKM-Kewirausahaan (PKM-K), PKM-Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-M), PKM-Artikel Ilmiah (PKM-AI),dan PKM-Gagasan Tertulis (PKM-GT). PKM atau Program Kreativitas Mahasiswa merupakan program yang sangat baik untuk mendidik mahasiswa menemukan medan sesungguhnya dalam proses penerapan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya. Program dikti ini harus juga diimbangi dengan kemandirian kampus. Dalam arti bahwa kampus juga harus secara kontinyu mengadakan program kreativitas mahasiswa yang dapat mengakomodasi minat mahasiswa dalam bidang penelitian.

c.       Pengabdian
            Pengabdian kepada masyarakat juga menjadi bagian integral yang harus dilakukan oleh mahasiswa. Program magang atau KKN (Kuliah Kerja Nyata) bisa menjadi contoh konkrit pelaksanaan aksi pengabdian kepada masyarakat. Dengan pengabdian ini, mahasiswa dilatih untuk responsif terhadap persoalan-persoalan yang ada di masyarakat.
            Program ini harus tetap berjalan sehingga konsep pendidikan yang memanusiakan manusia benar-benar menemukan arenanya. Mahasiswa bisa menjadi agent of change dalam masyarakat dengan pembaharuan-pembaharuannya. Praxis pendidikan menuntut pengabdian ilmu pengetahuan yang tulus kepada masyarakat.
            Akhirnya, membangun habitus kampus yang kreatif dan intelektualis harus menjadi jargon bersama. Kebiasaan atau habitus kampus yang kreatif dan intelektualis menjadikan kampus ini sebagai arena belajar yang membebaskan, yang kritis, analitif, dan mampu memenuhi kedahagaan pengetahuan mahasiswa serta berguna bagi masyarakat secara keseluruhan.


Referensi
Feire, Paolo,”Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan,” Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.
Keraf, A Sonny dan Mikhael Dua, “Ilmu Pengetahuan : Sebuah Tinjaun Filosofis,” Kanisius, Yogyakarta, 2001.
Malian, Sabirin dan Suparman Marzuki, “Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia,” UII Press, Yogyakarta, 2003.
Supranto,”Kewimayaan : Peran Dosen dalam  Meningkatkan Kreativitas Mahasiswa,” Majalah Wimaya, Tahun XXIII, No. 39, Juli 2006.



[1]Sabirin Malian dan Suparman Marzuki, “Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia,” UII Press, Yogyakarta, 2003, hal. 1.
[2]A Sonny Keraf dan Mikhael Dua, “Ilmu Pengetahuan : Sebuah Tinjaun Filosofis,” Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal. 139-140.
[3]Supranto,”Kewimayaan : Peran Dosen dalam  Meningkatkan Kreativitas Mahasiswa,” Majalah Wimaya, Tahun XXIII, No. 39, Juli 2006, hal. 2-3.
[4]Paolo Feire,”Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan,” Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hal. 194.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Aris Ceme Nuwa - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger