Sekitar 35
menteri perdagangan bertemu di India pada tanggal 4-5 September lalu dalam
rangka menghidupkan lagi pembicaraan mengenai liberalisasi perdagangan dunia di
bawah payung WTO atau Organisasi Perdagangan Dunia. Secara umum liberalisasi
perdagangan dunia dinilai gagal karena adanya resistensi dari negara-negara
berkembang terhadap kewenangan negara-negara maju. Negara-negara berkembang
menilai adanya ketimpangan dalam penerapan kebijakan liberalisasi perdagangan yang
cenderung menguntungkan negara-negara maju. Negara-negara berkembang diharuskan
membuka pasar domestik untuk produk-produk impor sedangkan negara-negara maju
menutup rapat-rapat pasar domestik alias memproteksi produk dalam negerinya.
Perundingan tersebut dilatarbelakangi keinginan untuk mencapai keadilan dalam
perdagangan global, kesinambungan pasar internasional yang tidak lagi
tendensius, dan menciptakan tata dunia yang adil dalam perdagangan dunia.
Perdagangan dunia sampai saat ini beromzet sekitar 32 triliun dollar AS.
Sejatinya perdagangan internasional
dijadikan momentum kerjasama yang ideal dalam mempererat hubungan antarbangsa
dalam ranah ekonomi. Namun dalam implementasinya, perdagangan internasional
justru merugikan negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang seringkali
menjadi korban kebijakan negara-negara maju. Salah satu contohnya Indonesia.
Kampanye AS bahwa minyak sawit menimbulkan penyakit dan penolakan ekspor udang
merupakan salah satu contoh kebijakan sepihak AS yang merugikan Indonesia.
Belum lagi hambatan tarif yang membatasi kuota produk ekspor Indonesia dan
sekaligus mematikan kreativitas produk domestik.
Sampai di titik ini pemerintah
memainkan peran yang cukup penting dalam memperjuangkan kepentingan nasional
atau domestik di ranah internasional. Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang di dunia tentu harus bisa meningkatkan bargain position apabila berhadapan dengan negara maju seperti AS
dalam melindungi produk-produk domestik maupun produsennya. Sejauh ini, mungkin
kita belum melihat inisiatif yang positif pemerintah dalam mengayomi
produk-produk lokal. Di satu pihak, pemerintah mengkampanyekan jargon ‘Aku
Cinta Produk Indonesia’, menggaungkan upaya meningkatkan produk-produk domestik
agar bisa bersaing dengan produk-produk asing namun di pihak lain pemerintah
malah membuka pasar domestik lebar-lebar terhadap produk asing. Alhasil produk
domestik kalah bersaing karena kualitasnya berbeda. Produk-produk asing cukup
berkualitas dan dijual murah di pasar Indonesia karena di negara asal
produk-produk tersebut mendapat subsidi dari pemerintahnya sementara
produk-produk lokal kita tidak mendapat subsidi dan kurang berkualitas.
Situasi demikian sangat memprihatinkan
apabila kita menilik perkembangan dunia yang semakin maju dan kompetisi
antarnegara yang semakin meningkat membutuhkan skill dan penguasaan titik-titik strategis dalam sektor ekonomi
maupun sektor lain. Kita tentu tak ingin ketinggalan kereta. Label ‘negara
berkembang’ akan tetap kita sandang apabila kebijakan-kebijakan yang dibuat
pemerintah selalu menguntungkan para pemilik modal atau aktor-aktor perusahaan
multinasional atau MNCs. Sejauh ini kita menyaksikan bahwa negara atau
pemerintah takluk bila berhadapan dengan kekuatan modal. Elemen yang mendasar
yakni kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial hanyalah penghias
konstitusi. Undang-Undang dirancang dan disetujui bukan untuk memperjuangkan
nasib rakyat miskin tetapi malah memenuhi keinginan dan ketamakan para pemilik
modal, elit-elit politik, dan pihak asing.
Sebenarnya kita mempunyai potensi
yang luar biasa. Kekayaan alam yang melimpah, keanekaragaman hayati yang
menjanjikan, dan beragam keunikan lain yang bisa menjadi fondasi dasar
perekonomian bangsa. Potensi-potensi tersebut bisa menjadi modal pembangunan
dan pemerataan ekonomi domestik sehingga bisa bersaing dalam ranah
internasional. Selama ini kita hanya mengandalkan kekayaan alam misalnya minyak
dan gas serta pertanian misalnya kelapa sawit untuk target ekspor ke
negara-negara lain. Padahal masih ada peluang ekspor lain yang bisa menjadi
andalan misalnya elektronik, tekstil, komponen komputer, mebel yang belum
dikembangkan dan kurang mendapat perhatian pemerintah dan pelaku usaha. Untuk
sementara (2008) Indonesia berada pada peringkat 31 dunia negara-negara
pengekspor dengan nilai ekspor 138,8 milyar dollar AS. Hal ini bisa menjadi
pemicu pemerintah untuk membuka dan mengembangkan peluang usaha lain yang
berkualitas dengan tujuan pasar internasional.
Namun sebelumnya pemerintah harus
membuat regulasi yang jelas dalam persoalan ekspor-impor dan memberikan subsidi
yang memadai untuk meningkatkan produk-produk lokal. Kualitas produk-produk
domestik harus ditingkatkan agar bisa berkompetisi di pasar global.
Produk-produk impor baik yang melalui pasar legal maupun ilegal juga harus
dibatasi. Konsentrasinya adalah meningkatkan produk-produk lokal dengan cara
memberikan subsidi, insentif, atau modal yang mencukupi kepada para pelaku
usaha menengah, kecil, dan mikro yang kekurangan modal serta bimbingan dan
pelatihan sesuai bidang usaha masing-masing. Apabila pemerintah serius dalam
melindungi produsen dan produk lokal maka kita akan mampu bersaing dengan
produk-produk negara lain di pasar internasional. Selain itu, secara tidak
langsung pemerintah membuka lapangan kerja, memberdayakan ekonomi rakyat, dan
menyejahterakan rakyat.
Sadar atau tidak, apabila kita
sedari dini tidak mengembangkan dan meningkatkan perekonomian rakyat yang
sesuai dengan karakteristik bangsa maka kita akan tetap menjadi negara periphery (negara berkembang atau
pinggiran). Dikotomi negara center-periphery (negara maju-negara
berkembang) akan tetap berlangsung dan kita semakin bergantung pada
negara-negara maju melalui utang-utang luar negeri yang berlabel bantuan,
lembaga-lembaga keuangan internasional misalnya IMF, Bank Dunia, ADB serta semakin
tunduk pada kekuatan modal internasional seperti MNCs (Multinational
Corporations). Belum lagi dalam konteks liberalisasi perdagangan di era
globalisasi ini yang menuntut efisiensi dan efektivitas dalam kompetisi
antarnegara. Liberalisasi perdagangan yang merupakan mainstream negara-negara maju tentunya harus dicerna berdasarkan
perspektif domestik. Liberalisasi perdagangan cenderung meminimalisasi peran
negara atau pemerintah dalam membuat regulasi atau kebijakan yang melindungi
masyarakat lokal. Oleh karena itu, pemerintah harus bisa membuat regulasi yang
memihak masyarakat domestik. Regulasi yang jelas dan tidak tunduk pada kekuatan
modal asing merupakan nilai plus tersendiri pemerintah dalam meningkatkan
ekonomi lokal. Pemberdayaan potensi ekonomi domestik harus dimaksimalkan agar
bisa bersaing di pasar internasional. Negara harus memainkan peran dominan
dalam upaya meminimalisasi ketimpangan yang muncul dalam liberalisasi
perdagangan terutama antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang
sehingga tercipta pasar internasional yang adil dan seimbang.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !